Menyelami Hakikat dan Manfaat Puasa
Puasa menjadi inti dari bulan suci Ramadhan
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ina Salmah Febriani
Setahun sudah pandemi terjadi. Banyak hikmah yang diperoleh, tak sedikit ujian kesabaran yang dirasa. Ramadhan tahun lalu pula, umat muslim diuji karena tidak bisa beraktivitas seperti halnya ramadhan biasa.
Euphoria menyambut ramadhan ditiadakan, masjid-masjid sementara ditutup, tarawih dianjurkan dirumah, tadarus dari masjid hanya bisa dihayati di rumah masing-masing, dan berkahnya, kajian-kajian virtual tumbuh subur, mulai ramai digaungkan.
Kini, pandemi memang belum usai, tapi syukur tiada hingga, insyaAllah kita kembali menemuinya. Apa yang spesial dari Ramadhan? Tentu, karena puasanya!
Puasa menjadi inti dari bulan suci Ramadhan, karena di bulan ini pun al-Qur’an diturunkan. Perintah puasa sendiri termaktub dalam Qs. al-Baqarah/2: 183. Jika kita mengkaji lebih jauh, ibadah puasa ini sebetulnya telah dilakukan oleh beberapa Nabi terdahulu dengan cara dan bilangan hari yang berbeda dengan bulan Ramadhan.
Abu Hayyan, salah seorang ahli tafsir berpendapat bahwa kewajiban berpuasa sudah ada sejak Nabi Adam sampai sekarang. Nabi Adam berpuasa selama tiga hari setiap bulan sepanjang tahun. Pendapat lain mengatakan Nabi Adam berpuasa pada 10 Muharram, sebagai rasa syukur bertemu dengan isterinya, Hawa.
Selain Nabi Adam, nabi-nabi selanjutnya juga sudah diwajibkan berpuasa. Seperti Nabi Nuh yang berpuasa selama tiga hari setiap bulan sepanjang tahun dan memerintahkan kaumnya untuk menyembah Allah ketika terkatung-katung dalam perahu besar di tengah samudera luas. Nabi Ibrahim juga terbiasa berpuasa terutama saat hendak menerima wahyu dari Allah.
Nabi Yusuf berpuasa ketika dalam penjara bersama para terhukum lainnya. Nabi Yunus berpuasa dari makan minum saat berada dalam perut ikan besar selama beberapa hari. Nabi Ayyub, Syu’aib, Ilyas juga berpuasa selama 40 hari 40 malam ketika akan menerima wahyu dari Allah.
Nabi Dawud pun demikian. Beliau puasa berselang hari. Nabi Isa juga berpuasa ketika menyatakan dirinya sebagai Rasul. Melalui peristiwa ini, nyatalah apa yang disampaikan Al-Qur’an bahwa ibadah puasa bukanlah ibadah baru dan pernah dilakukan oleh kaum/ nabi terdahulu dengan bilangan hari yang berbeda-beda.
Bagaimana dengan Rasulullah Saw?
Selama hidupnya, Nabi Muhammad Saw. melaksanakan puasa Ramadhan sebanyak 9 kali sebelum wafat pada 12 Rabi’ul Awwal 11 H. Jauh sebelum ini, Rasulullah terbiasa berpuasa juga seperti puasa ‘Asyura (10 Muharram)—puasa yang juga dilaksanakan orang-orang Yahudi sebagai penghormatan kepada Nabi Musa dan sucinya bulan Muharram.
Prof. Dr. Thomas Djamaluddin, M.Sc. adalah astronom dan peneliti asal Jawa Tengah sekaligus staf peneliti bidang matahari dan lingkungan antariksa, melakukan penelitian posisi hilal awal Ramadhan dan Syawal semasa Rasulullah Saw hidup dari 2H-10H, berkesimpulan bahwa selama 9 tahun itu, 6 kali Ramadhan panjangnya selama 29 hari dan hanya 3 kali yang 30 hari.
Kesempatan puasa yang sempat Rasulullah lakukan selama hayatnya, mengajarkan kita semua tentang pesan moral utamanya tentang daya juang. Terlebih, banyak peperangan yang Rasul lakukan saat berpuasa.
Karenanya, ibadah puasa dasarnya berat untuk dilakukan, tapi menahan lapar adalah cara meraih ketaatan. Ahli fiqh misalnya, memandang bahwa laparnya orang yang berpuasa mampu menundukkan tabiat manusia (qahru al-tab’i) dan dapat menahan keinginan mereka (kasru al-syahwati). Apabila manusia kenyang, keinginan mereka cenderung tak terkendali dan tidak terkontrol. Sebaliknya, saat dalam keadaan lapar, manusia lebih dapat mengendalikan dan menundukkan hawa nafsunya.
Dalam kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, al-Qurthubi seorang ahli tafsir dan fiqh berpendapat, ketika seseorang sedikit makan, hawa nafsunya akan melemah sehingga dorongan untuk melakukan maksiat akan berkurang. Al-Qurthubi juga menyebutkan bahwa ada yang menafsirkan tattaqun (dalam Qs. al-Baqarah/2: 183) dengan tad’afun, yaitu menjadi orang-orang yang lemah, dalam arti, lemah dari melakukan maksiat.
Hal serupa juga dipaparkan oleh Muhammad Ali al-Sabuni seorang ahli tafsir dan fiqh bahwa ibadah puasa mampu membelenggu keinginan, baik keinginan yang berasal dari perut maupun kemaluan. Atas dasar inilah, puasa menjadi ibadah yang begitu penting bagi kehidupan manusia.
Selain pandangan ulama fiqh, puasa pun menjadi bahasan utama para sufi. Ada satu titik temu mengenai ibadah puasa dalam pandangan keduanya tentang hikmahnya menahan lapar. Jika ahli fiqh menjadikan lapar sebagai hikmah diwajibkan berpuasa (hikmah al-saum), maka para ahli tasawwuf menjadikan lapar sebagai inti berpuasa (mihwar al-riyadhah).
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin misalnya. Menjelaskan bab asrar al-saum (rahasia hikmah di balik puasa) dengan bahasan panjang lebar sebab ia beranggapan bahwa kondisi lapar akan memberikan efek penting dalam kehidupan manusia. Sebab, lapar mampu mengekang hawa nafsu manusia. Imam Al-Ghazali juga berpendapat, bahwa sumber segala bencana dan penyakit berasal dari nafsu perut. Nafsu perut juga yang mengeluarkan Nabi Adam as dan Hawa dari surga.
Puasa dari perspektif fiqh dan tassawwuf terlihat bahwa puasa bukan hanya bermanfaat dari sisi jasmani; tapi lebih ke ruhani. Dengan puasa pula seseorang terlatih kesabaran dan daya juang untuk mengekang hawa nafsu dan keinginan yang membawanya pada kemafsadatan (kerusakan). Semoga kita semua disehatkan fisik psikis agar bisa berpuasa lahir-batin. Bukan hanya memuasakan diri dari makan dan minum tapi juga menghentikan hati dan psikis dari perbuatan yang tidak diridhai Allah.