Perempuan Jadi Target Perekrutan Kelompok Teroris?

Keterlibatan perempuan sebagai pelaku teror menunjukkan dinamika yang mengkhawatirkan

Antara/Mohammad Ayudha
Perempuan berhijab dan cadar atau niqab dari Komunitas Muslimah Soloraya menggelar aksi Gerakan Akhwat Bercadar Menolak Terorisme di Solo, Jawa Tengah. (Ilustrasi)
Rep: Andrian Saputra Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aksi teror yang terjadi beberapa waktu lalu mengagetkan banyak orang, karena melibatkan perempuan sebagai pelakunya. Seperti pelaku bom bunuh diri yang menargetkan Gereja Katedral Makassar adalah juga perempuan berinisial YSF. Begitupun pelaku teror di Mabes Polri juga seorang perempuan berinisal ZA. 


Mengapa perempuan kerap menjadi pelaku aksi teror belakangan ini? Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menjelaskan, aksi teror dengan pelakunya seorang perempuan, bukan kali pertama terjadi. 

Pada serangan bom bunuh diri yang dilakukan tiga keluarga di Surabaya pada 2018, juga melibatkan perempuan serta anak-anaknya sebagai pelaku. Pada 2016, juga terhadap dua perempuan yang gagal melakukan aksi pengeboman di Jakarta dan bom bunuh diri di Sibolga. 

Berdasarkan data tersebut, menurut Siti, keterlibatan perempuan sebagai pelaku teror menunjukkan dinamika yang mengkhawatirkan. "Karena sebelumnya keterlibatan perempuan umumnya sebagai pendamping suami atau pengikut setia yang memberikan perbantuan dan perlindungan. Perekrutan perempuan menjadi pelaku serangan kekerasan adalah taktik agar tidak mudah dicurigai untuk alasan keamanan," kata Siti kepada Republika,co.id pada Jumat (2/4).

Lebih lanjut Siti menjelaskan, untuk terpapar paham kekerasan seseorang dipengaruhi berbagai faktor. Dia mengatakan, terdapat faktor pendorong dan penarik yang saling mempengaruhi. Faktor pendorong terletak pada titik jenuh dimana kemudian seseorang mendapati perjumpaan dengan interprestasi ajaran intoleran dan radikal. 

Kemudian, kata Siti, terdapat tiga faktor penarik yaitu relasi sosial-personal seperti suami isteri dan pertemanan, ideologi yang menarik untuk mengatasi titik jenuh dan faktor ekonomi bahwa sistem khilafah akan memperbaiki sistem ekonomi. Menurut dia, faktor penarik dan pendorong tersebut dapat terjadi baik pada lelaki maupun perempuan. 

 

 

Namun demikian, dia menjelaskan, terdapat kondisi spesifik yang kondusif bagi tumbuhnya radikalisasi teroris pada perempuan. Kondisi spesifik tersebut yaitu ketidak setaraan dan diskriminasi berbasis gender, kekerasan terhadap perempuan, kurangnya kesempatan pendidikan dan ekonomi, dan kurangnya kesempatan bagi perempuan untuk menggunakan hak-hak sipil dan politik mereka dan terlibat dalam proses politik dengan cara yang sah dan tanpa kekerasan. Selain itu Pelanggaran HAM. 

Menurut Siti, pelanggaran-pelanggaran ini sering digunakan oleh kelompok-kelompok teroris untuk membentuk wacana viktimisasi, membenarkan tindakan mereka dan merekrut anggota baru, termasuk perempuan. Dengan demikian kata Siti keterlibatan perempuan dalam terorisme tidak bisa dilepaskan dari relasi dan hirarki gender yang timpang, doktrin kepatuhan keagamaan, dan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan maupun kelompoknya. 

Kata dia, kelompok perempuan rentan terpapar ekstremisme kekerasan selain karena faktor-faktor di atas, juga karena organisasi teroris menjadikan perempuan sebagai target propagandanya dengan menggunakan dan memanipulasi streotipe peran jender. Perekrutan perempuan menjadi pelaku bom atau serangan kekerasan adalah taktik agar tidak mudah dicurigai untuk alasan keamanan. 

"Hal lain adalah memanfaatkan peran perempuan sebagai ibu yang strategis untuk mentransmisikan ideologi radikal dan mempersiapkan anak-anak melakukan tindakan kekerasan," katanya. 

 

Sebab itu, kata Siti, di antara beberapa upaya untuk membentengi kaum perempuan Indonesia dari paham-paham kelompok teroris adalah dengan meyakini bahwa perempuan setara dengan laki-laki termasuk dalam pengambilan keputusan. Melakukan berbagai perjumpaan dengan kelompok-kelompok yang berbeda untuk membangun toleransi, meningkatkan pendidikan formal, mempelajari agama secara utuh dengan guru, ustadz, kiai yang memiliki pandangan atau tafsir keagamaan yang moderat dan ramah perempuan. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler