Indonesia Harus Keluar dari Negara Berpenghasilan Menengah

Contoh negara yang berhasil keluar dari jebakan penghasilan menengah adalah Korsel.

ANTARA/Aprillio Akbar
Menristek/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro.
Rep: Inas Widyanuratikah Red: Endro Yuwanto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang PS Brodjonegoro berpesan agar Indonesia jangan sampai terjebak pada negara berpenghasilan menengah. Hanya sedikit yang bisa keluar dari negara berpenghasilan menengah.

"Yang bisa lulus sedikit itu tadi adalah negara-negara yang langsung fokus pada sumber daya manusia sebagai bahan bakar pertumbuhannya," kata Bambang saat menjadi pembicara kunci Forum Diskusi Membangun Ekosistem Riset dan Inovasi yang diselenggarakan oleh IABIE, Ahad (11/4).

Negara yang bisa lulus ini, lanjut Bambang, juga selalu mengadopsi perkembangan teknologi yang terkini melalui sektor industri manufaktur. Selain itu, negara-negara ini juga mengedepankan inovasi sebagai upaya untuk mempertahankan daya saing yang sudah dibentuk sebelumnya.

Bambang mencontohkan negara yang berhasil keluar dari jebakan penghasilan menengah dengan cepat, yaitu Korea Selatan (Korsel). Sebagai negara yang miskin sumber daya alam (SDA), Korea Selatan terus meningkatkan SDM-nya dan dalam waktu singkat industri manufaktur di negara tersebut meningkatkan perekonomian.

Menurut Bambang, Indonesia tidak perlu meniru Korea Selatan yang fokus pada industri manufaktur. Indonesia memiliki SDA yang melimpah, namun sayangnya masih belum dijual dengan nilai tambah. Hal inilah yang perlu didorong agar Indonesia bisa keluar dari jebakan negara dengan pendapatan menengah.

Inovasi yang dilakukan Indonesia bisa berbasis SDA. Ia mengatakan, Indonesia memiliki SDA yang luar biasa dan harus dimanfaatkan. Menurutnya, menjadi tantangan bagi peneliti di Indonesia agar kekayaan alam yang sudah dimiliki ditingkatkan nilai tambahnya menjadi paling maksimal.

"Jangan sampai seperti kasus coklat, Indonesia produsen kakao yang besar di dunia. Tetapi, yang bisa kaya raya, yang mendapatkan manfaat luar biasa, bukan perusahaan Indonesia, tapi perusahaan di Eropa yang bisa membuat produk berbasis coklat dengan nilai tambah yang optimal, dengan brand yang sangat kuat," jelas Bambang.


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler