Ramadhan Bangkitkan Nostalgia di Antara Pengungsi Rohingya

Pengungsi Rohingya masih bermimpi untuk kembali ke Myanmar

Damir Sagolj/Reuters
Pengungsi Rohingya di kamp pengungsi Balikhali yang disiapkan khusus untuk janda dan anak yatim, Cox
Rep: Meiliza Laveda Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, Salah seorang pengungsi Rohingya, Maryam Begum (35 tahun) terpaksa hidup di kamp Cox Bazaar, Bangladesh selatan. Dia bersama keluarganya tinggal di tenda darurat yang padat dan terbuat dari lembaran terpal. Saat waktu buka puasa, ia sibuk memberi makan anaknya yang berusia dua tahun.

Para pengungsi sama sekali tidak terpesona dengan keindahan alam lingkungan Bangladesh. Mereka hanya mengingat semua kejadian yang menimpanya, yaitu pembunuhan, pembakaran, penyiksaan, dan pemerkosaan. Jika umat Islam di belahan bumi lain dapat merayakan Ramadhan bersama keluarga atau kerabat, para pengungsi Rohingya harus menjalani Ramadhan penuh dengan kesengsaraan.

Mereka merindukan beberapa ritual keagamaan yang meriah. Setelah melarikan diri dari tindakan yang tidak manusiawi tiga tahun lalu, pengungsi Rohingya telah tinggal di kamp-kamp Bangladesh. Mereka terpaksa meninggalkan banyak orang yang mereka cintai di Rakhine yang dibunuh secara brutal oleh militer negara.

Begum menceritakan suami dan ayah mertuanya adalah petani. Saat di Myanmar, mereka memiliki lahan besar yang bisa diolah. Penghasilan suami dan ayah mertuanya dari bertani, dapat menghidupkan keluarga Begum dengan baik. “Akan tetapi, militer Myanmar membunuh ayah mertua saya seperti pemburu menembak burung dan membakar rumah kami,” kata Begum, dilansir TRT World, Kamis (22/4).

Usai insiden tersebut, Begum menyelamatkan diri dan melakukan perjalanan selama sepekan melewati hutan dan sungai bersama suami dan dua anaknya. Mereka akhirnya bisa mencapai tanah Bangladesh.

“Sekarang saya adalah ibu dari empat anak dan kami enam anggota keluarga berjuang untuk bertahan hidup di sebuah tenda kecil,” ujar dia.

Sambil mengenang masa lalu, Begum menuturkan ketika masih di Myanmar, sebelum waktu berbuka puasa, suami dan ayah mertuanya pulang dengan membawa makanan lezat dari pasar. Mereka biasa berbuka puasa bersama tetangga. Bagi Begum, Ramadhan adalah momen untuk menjalani ibadah.



Di tengah semua penderitaan, pengungsi Rohingya masih bermimpi untuk kembali ke Myanmar dengan hak dan martabat yang utuh untuk merayakan Ramadhan. Dolu Bibi (65 tahun) mengatakan dia telah mengubur suaminya di Bangladesh dan berencana untuk mengambil tempat peristirahatan terakhirnya di samping makam suaminya.

Sama seperti pengungsi lain, Bibi berlindung di Bangladesh selama eksodus tahun 2017. Namun, suaminya yang sudah paruh baya meninggal beberapa hari setelah kedatangan mereka. Ibu dari enam anak ini percaya bahwa mereka akan kembali ke tanah air dan menjalani kehidupan yang lebih baik di sana.

“InsyaAllah dalam waktu dekat anak-anak saya akan merayakan Ramadhan di Myanmar sebagai warga negara merdeka,” kata Bibi.

Sejak undang-undang kewarganegaraan 1982 disahkan, pihak berwenang Myanmar telah memperlakukan Muslim Rohingya sebagai penduduk ilegal atau orang Bengali asing. Militer Myanmar telah melancarkan beberapa operasi selama bertahun-tahun yang terakhir adalah penumpasan pada Agustus 2017. Menurut sebuah studi berjudul Forced Migration of Rohingya: The Untold Experience yang dilakukan oleh konsorsium peneliti dari Australia, Bangladesh, Kanada, Norwegia dan Filipina, selama tahun 2017, tentara Myanmar dan ekstremis Buddha membunuh lebih dari 24 ribu Rohingya. Sementara itu, 18 ribu wanita diperkosa, 41.192 menderita luka tembak, 34.436 dibakar, dan 114.872 dipukuli. Diperkirakan pula 115.026 rumah dibakar dan 113.282 lainnya dirusak.

Terlepas dari semua trauma itu, banyak pengungsi Rohingya masih bermimpi untuk kembali suatu hari nanti. Dengan senyuman di wajahnya, Bibi menceritakan kepada cucunya tentang masa lalu mereka yang indah.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler