Bagaimana Cara Membayar Utang Puasa Ramadhan?
Jika utang puasa masih tersisa, dia harus mengganti sembari membayar denda.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umat Islam di seluruh dunia hampir memasuki pertengahan Ramadhan 1442 H. Pada bulan suci ini, setiap umat memfokuskan diri dalam beribadah dan menambah pahala sembari mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Namun, banyak muncul pertanyaan bagaimana dengan seorang Muslim yang masih memiliki utang puasa Ramadhan pada tahun-tahun sebelumnya? Bagaimana cara ia membayar?
Terkait hal ini, Ustaz Abdul Somad (UAS) menyebut barang siapa yang masih memiliki utang puasa dan belum sempat dibayar, harus mengganti pada 11 bulan selain Ramadhan. Namun, jika masih tersisa, dia harus mengganti sembari membayar denda.
"Jika terlupa, dia harus mengganti setelah Ramadhan ini sambil membayar denda. Misal masih ada utang puasa lima hari, maka mengganti puasa lima hari dan memberi makan kaum dhuafa atau miskin selama lima hari," kata UAS dalam unggahan video Hijrah Fest, Senin (26/4).
Kewajiban membayar utang puasa ini tetap berlaku, bahkan jika orang yang menanggungnya meninggal dunia. Yang wajib membayar utang puasa adalah ahli warisnya.
UAS menegaskan, bergantinya Ramadhan dari satu tahun ke tahun berikutnya tidak berarti menghapus utang-utangnya yang ada terdahulu. Karena itu, ia menganjurkan agar setiap orang mencatatkan utang puasanya agar tidak mudah terlupa.
Di sisi lain, bagi Muslim yang telah berusia lanjut (lansia) dan tidak mampu lagi berpuasa, utang puasanya bisa dibayarkan dengan fidyah. Membayar fidyah ini hitungannya minimal sebanyak 1 mud atau 0,75 kg.
"Minimumnya membayar fidyah itu 1 mud. Namun, kalau mau lebih aman, karena ini juga ibadah, kita bisa memberi makan kaum dhuafa miskin setara tiga kali sehari. Jangan hitung-hitungan dengan Allah SWT, kalau tidak mau dihitung-hitung juga oleh Allah," kata dia.
Terkait membayar puasa Ramadhan digabung dengan puasa sunnah, UAS menyebut hal ini dibolehkan. Afdhalnya, puasa qada harus dibayarkan terlebih dahulu baru puasa sunnah atau Syawal. Hal ini disampaikan Imam Zakaria al-Anshori dari kalangan mashab Syafi'i dalam Kitab Fattawa al-Azhar.
Namun, jika tidak mampu, seorang Muslim dibolehkan menggunakan hukum maqbul. Yaitu, melakukan qada sembari puasa sunnah.
Terkait membayar puasa bagi ibu hamil atau menyusui, UAS menyebut ada tiga mazhab yang memiliki pandangan berbeda. Mashab Sayyidina Abdullah ibn Abbas menyebut utang puasa bisa dibayar dengan membayar fidyah saja.
Mazhab kedua dari Imam Ahmad bin Hanbal yang menyebut cukup meng-qada puasa saja. Terakhir, mazhab Imam Syafi'i menyebut jika kondisi si ibu lemah, hanya mengqadha, namun jika kondisi janin yang lemah, maka wajib qadha puasa dan membayar fidyah.
"Ini boleh dipilih yang mana saja. Mazhab mana pun baik karena para ulama memutuskan berdasarkan ijtihad. Yang tidak boleh itu menggabung dua sampai tiga mazhab dalam satu masalah atau memilih yang mudah saja," kata dia.
Dalam video yang sama, Syekh Muhammad Jaber juga membagikan pandangannya terkait membayar qada puasa ini. Bagi Muslimah yang tidak hafal utang puasanya yang terdahulu, hal ini bisa dilakukan dengan perkiraan.
"Jika tidak tahu berapa utang puasanya karena sudah bertahun-tahun yang lalu, bisa dikira-kira. Di mana hati merasa tenang. Jika dikira-kira lima hari dan hati merasa tenang, maka bayar qada puasa lima hari," kata dia,
Terkait perempuan yang sedang hamil atau menyusui, Syekh Muhammad Jaber menyebut boleh qadha ataupun fidyah. Hal ini dikembalikan lagi pada kemampuan orang tersebut.
Jika sedang hamil atau menyusui saat Ramadhan, usahakan untuk melakukan konsultasi dengan dokter. Jika diperbolehkan puasa, maka berpuasa.
Namun, jika oleh dokter disarankan untuk tidak berpuasa, hal ini tidak menjadi masalah. Nanti, jika sudah dalam kondisi lebih baik, utang puasa ini bisa diqada, atau jika tidak mampu, maka membayar fidyah.
Syekh Muhammad Jaber juga menyebut puasa pada masa pandemi membawa banyak hikmah. Salah satunya dalam kaidah fikih disebutkan, "Amalan yang lebih banyak pengorbanan, lebih banyak keutamaan".
"Bukan karena pandemi, maka ini dijadikan alasan untuk bermalasan. Pandemi tetap membuat kita dekat dengan Allah SWT, berpuasa dan beribadah. Pahalanya bahkan lebih besar daripada pada masa biasa," ujarnya.