Dentuman Suara Meriam di Lebak Penanda Berbuka Puasa

Ledakan meriam itu sangat keras hingga terdengar sejauh 10 kilometer.

ANTARA /Muhammad Bagus Khoirunas
Dentuman Suara Meriam di Lebak Penanda Berbuka Puasa. Petugas bersiap menyalakan meriam di Masjid Al Araaf Rangkasbitung, Lebak, Banten, Selasa (13/4/2021). Warga setempat menggunakan meriam sebagai penanda waktu berbuka puasa selama bulan Ramadhan.
Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, LEBAK -- Jelegaar....!!! Demikian dentuman suara meriam yang dinyalakan di Masjid Agung Al A'raf Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten tepatnya pukul 18.05 WIB. Dentuman suara meriam itu menjadi momen bagi masyarakat Kabupaten Lebak, Banten, sebagai penanda tibanya berbuka puasa.

Baca Juga


Ledakan meriam itu sangat keras hingga terdengar sejauh 10 kilometer di Kecamatan Rangkasbitung, Kalanganyar dan Cibadak, Kabupaten Lebak, Banten. Masyarakat yang berkumpul sambil ngabuburit di sekitar Alun-alun Rangkasbitung menyambut gembira setelah mendengar dentuman meriam itu dan mereka berlarian ke rumah untuk berbuka puasa.

Begitu juga umat Muslim di masjid-masjid dan mushala mulai melaksanakan kumandang adzan maghrib. Masyarakat di daerah itu setiap Ramadhan merindukan tradisi dentuman suara meriam yang berlangsung turun temurun, bahkan di Provinsi Banten hanya ada di Kota Rangkasbitung.

"Kami merasa senang dan bahagia mendengar dentuman meriam sebagai tandanya berbuka puasa," kata Yahya (65 tahun) seorang pengurus DKM Masjid Al A'raf Rangkasbitung.

Tradisi dentuman suara meriam bagi masyarakat Kabupaten Lebak yang dinyalakan setiap bulan Ramadhan itu diperkirakan dimulai 1928. Sebab, kata dia, sebelumnya menggunakan meriam locok produksi VOC yang terbuat dari perunggu berwarna keemasan dengan panjang satu meter dan diameter cukup besar.

Baca juga : Menjaga Manfaat Kesehatan dari Berpuasa (Part 1)

 

Meriam locok produksi VOC dinamakan "Si Jagur" dengan menggunakan bahan peledak dari karbit dan air. Suara dentuman "Si Jagur" lebih keras hingga terdengar kejauhan sekitar 40 kilometer, namun meriam locok itu dihentikan pada 1957 setelah menimbulkan kecelakaan.

Penyulut meriam locok bernama Madsai bagian tangan kanan terputus saat akan dilakukan penyulutan, namun terlebih dahulu mengeluarkan suara ledakan. Kecelakaan meriam Si Jagur itu akhirnya diganti dengan meriam yang terbuat dari pipa juga bahan peledak karbit dan air.

"Sekarang meriam locok alias Si Jagur itu sudah dibawa ke museum di Banten," katanya.

Opik, seorang petugas penyulut meriam Masjid Agung Al Araf, mengaku sebelumnya merasa ketakutan karena khawatir terjadi kecelakaan karena tidak memiliki perlindungan. Proses penyulutan meriam itu mulai mengisi bahan peledak sampai menyulut api ke lubang meriam dilakukan secara manual.

Disamping itu, peledakan meriam tanpa dilengkapi alat peredam dan berpotensi mengalami gangguan pendengaran. Sebab, kata dia, dentuman suara keras bisa menimbulkan kerusakan bagian gendang telinga dan dapat mengalami gangguan pendengaran telinga atau torek.

Baca juga : Menjaga Manfaat Kesehatan dari Berpuasa (Part 2-Selesai)

 

Dirinya selama 26 tahun sebagai petugas penyulut meriam tidak ada pengganti karena mereka khawatir menjadi korban kecelakaan. Saat ini, dia mengaku rasa takutnya sudah hilang.

"Kami menyulut meriam itu cukup hati-hati mulai mengisi bahan peledak dari karbit hingga menyulut api ke lubang meriam agar tidak mengalami kecelakaan," kata Opik sambil mengaku menerima honor Rp 100 ribu.

Akademisi dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Latansa Mashiro Rangkasbitung Mohammad Husen mengatakan dentuman suara meriam sebagai tibanya berbuka puasa pada Bulan Ramadhan berlangsung sejak zaman Belanda. Saat itu, kata dia, umat Muslim Kabupaten Lebak tidak memiliki media elektronika, seperti radio dan televisi.

Karena itu, dentuman meriam satu-satunya yang bisa dijadikan pertanda tibanya waktu umat Islam untuk berbuka puasa Ramadhan. Bahkan, dentuman suara meriam pada saat itu lebih keras hingga terdengar mencapai kejauhan 40 kilometer.

"Kami memperkirakan tradisi dentuman suara meriam di Rangkasbitung dari tahun 1928 hingga kini masih dilestarikan dan dipertahankan," katanya.

 

Ia mengatakan, tradisi dentuman suara meriam untuk mengingatkan umat Muslim dapat melaksanakan ibadah puasa Ramadhan. Saat itu, masyarakat masih minim pendidikan agama Islam di era pemerintahan Kolonial Belanda.

Selain itu, tradisi dentuman suara meriam sebagai simbol mempersatukan umat Muslim untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah tersebut. Di Rangkasbitung saat itu, banyak perusahaan Belanda mengelola perusahaan pabrik minyak terbesar se-Asia, bahkan terdapat perumahan karyawan pabrik minyak di Kampung Pasir Kongsen.

Begitu juga gedung-gedung Belanda lainnya, seperti Gedung Pemkab Lebak, Gedung Polsek Rangkasbitung, Gedung Rumah Tahanan dan Gedung Kodim 0603 merupakan bangunan peninggalan Belanda. Pergerakan umat Muslim di Kabupaten Lebak melakukan perlawanan untuk berjuang terhadap kolonial Belanda hingga banyak masyarakat dan ulama gugur di medan perang.

Pemerintah Kabupaten Lebak hingga kini tetap melestarikan meriam Masjid Agung Al A'raf Rangkasbitung untuk penanda tibanya berbuka puasa, meski di tengah banyaknya media informasi. Pelestarian tradisi meriam bagian perjalanan sejarah dan budaya masyarakat Kabupaten Lebak.

Karena itu, pemerintah daerah memerintahkan pengelola Masjid Agung Al A'raf Rangkasbitung agar meriam itu diaktifkan setiap tahun pada Ramadhan. Bahkan, dentuman suara meriam yang berlangsung selama satu hingga dua detik itu menjadi obyek wisata.

Banyak warga Rangkasbitung di rantau kembali ke kampung karena rindu suara meriam tersebut. Pemerintah daerah agaknya memahami kondisi ini sehingga melestarikan ledakan meriam.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler