Mualaf: Banyak Orang Korea Salah Paham tentang Islam
Banyak orang Korea memiliki kesalahpahaman besar tentang Islam.
REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Seorang wanita mualaf asal Korea Selatan, Song Bo-ra (30-an), menceritakan kisah perjalanannya semenjak masuk Islam. Dia telah melalui berbagai pandangan dari orang-orang yang tak menyukai Islam.
"Banyak orang Korea memiliki kesalahpahaman besar tentang Islam. Mereka bertanya mengapa saya memakai jilbab. Mereka mengira hijab digunakan untuk mengontrol perempuan dan kebebasan mereka, dan kami dipaksa untuk memakainya," kata mantan guru Islam yang kini bekerja di Korea-Islam Business & Cultural Centre, dilansir dari laman Straits times pada Selasa (11/5).
Sebelumnya, dia pernah bersembunyi di toilet umum stasiun kereta bawah tanah. Song berusaha mencari perlindungan dari tatapan orang-orang saat dia pertama kali memakai jilbab.
"Semua orang menatap saya, membuat saya merasa sangat malu, jadi saya pergi bersembunyi dan menunggu kerumunan bubar," ujar Song Bo-ra mengenang.
Karena mengenakan jilbab itu, tiba-tiba Song menjadi orang asing di kota asalnya, Kota Pelabuhan Busan.
Adapun Song masuk Islam pada 2007 setelah membaca tentang agama itu selama bertahun-tahun. Dia telah tertarik dengan sejarah dan budaya Arab sejak masih muda. Song menemukan bahwa Islam adalah agama yang tepat untuknya.
"Banyak orang Korea bertanya mengapa saya memakai jilbab. Mereka mengira hijab digunakan untuk mengontrol perempuan dan kebebasan mereka, dan kami dipaksa untuk memakainya," ucap Song.
Pindah agama dianggapnya sebagai keputusan yang sangat pribadi. Akan tetapi, mengenakan jilbab sebagai simbol keyakinannya membuatnya menonjol dari keramaian. Baru setelah pindah ke ibu kota Seoul sekitar tujuh tahun lalu, Song mulai mengenakan jilbab setiap hari.
Dia kini tinggal di Itaewon, yang dikenal sebagai lingkungan paling multikultural di Korea Selatan. Itu juga merupakan rumah bagi masjid pertama di negara itu, Seoul Central Masjid.
Muslim berkumpul setiap Jumat, dan sebelum pandemi Covid-19, turis Muslim berbondong-bondong ke sini untuk makanan halal. Di sini, dia tidak lagi menonjol dengan hijab. Meski begitu, dia dihujani pertanyaan dari rekan senegaranya tentang pilihan berjilbab.
Dia menyesalkan bahwa hijab sering dipandang sebagai simbol terorisme. Untuk itu, Song ditanya apakah dia mendukung ISIS, dan apakah dia telah bertemu dengan anggota ISIS. "Saya akan tertawa dulu, lalu jelaskan bahwa kami ingin hidup damai," kata dia.
Sementara, di negara yang sebagian besar homogen ini, di mana Buddha dan Kristen adalah agama yang paling dominan, Islam sering disalahpahami dan tidak dipercayai.
Kebanyakan orang Korea mengaitkannya dengan terorisme setelah penculikan 23 misionaris Korea Selatan pada 2007 oleh anggota Taliban. Dua orang terbunuh sebelum Pemerintah Korea Selatan mencapai kesepakatan untuk pembebasan kelompok tersebut.
Kisah itu mendominasi berita utama selama beberapa pekan. Ini menciptakan kesan negatif tentang Islam yang bertahan hingga hari ini.
Adapun jumlah Muslim di Korea Selatan saat ini berada di bawah 200 ribu, atau hanya 0,38 persen dari populasi, menurut perkiraan Federasi Muslim Korea (KMF). Mayoritas adalah pekerja dan pelajar dari negara-negara, seperti Turki, Pakistan, dan Uzbekistan. Sekira 10 ribudari mereka telah memperoleh kewarganegaraan Korea.
Agama Islam pernah dilarang di Korea selama berabad-abad selama Dinasti Joseon (1392-1910) sebagai bagian dari kebijakan isolasionis.
Agama ini pertama kali diperkenalkan ke semenanjung Korea dari abad ke-9 hingga ke-11 oleh orang-orang Arab yang melintasi Jalur Sutra. Baru-baru ini dihidupkan kembali oleh pasukan Turki yang tetap tinggal setelah berperang dalam Perang Korea 1950-53.
Sekitar 15 ribu tentara Turki telah menjadi sukarelawan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan banyak yang tetap tinggal setelah perang. Beberapa akhirnya menyebarkan keyakinan mereka di antara orang Korea Selatan.
Wakil direktur KMF, Jang Huseyin, mengatakan, orang Korea tersentuh oleh pasukan Turki karena mereka dengan gagah berani melindungi mereka dari bahaya. Para prajurit juga membuka sekolah untuk anak-anak yatim piatu dan mengasuh mereka.
"Tentara Turki juga berbagi makanan karena dalam Islam, kami diajarkan untuk berbagi makanan dengan tetangga kami jika kami tahu mereka lapar," kata Jang, yang lahir di Turki, tetapi menggunakan nama Korea sebagai warga negara yang dinaturalisasi.