Unjuk Rasa Meluas, Demonstran: Netanyahu Bunuh Sandera dan Puaskan Ekstremis untuk Perang

Netanyahu dikecam karena lebih memilih kematian sandera di Gaza.

X
Ribuan warga Israel turun ke jalan menuntut Netanyahu mundur
Rep: M Nursyamsi Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Suasana Israel semakin tidak menentu. Selain dibombardir Hamas dan Houthi, warga Israel juga tumpah ruah di jalan. Mereka mengecam kebijakan Netanyahu yang lebih memilih menyenangkan ekstremis pendukungnya, yaitu Bezalel Smotrich dan Ben Gvir, untuk berperang. Hal itu mengakibatkan kesempatan sandera yang masih ditahan Hamas untuk selamat kian tipis.

Baca Juga


Pengkhianatan Netanyahu dengan mengerahkan kekuatan militer ke Gaza berpotensi besar membunuh sisa sandera di sana. Mereka akan semakin menghadapi kesulitan untuk bertahan hidup.

Suara demikian terus bersahutan yang dilontarkan 40 ribu lebih demonstran di Israel. Mereka dibersamai kekuatan oposisi, salah satunya yang dipimpin mantan menteri luar negeri Israel Yair Lapid. Kekuatan oposisi di Knesset semakin kuat karena Netanyahu melanggar gencatan senjata dan diduga terlibat dalam skandal hukum korupsi Qatar.

Puluhan ribu pemukim Israel turun ke jalan di Tel Aviv pada hari Sabtu untuk memprotes kebijakan pemerintah Benjamin Netanyahu, menuntut kesepakatan pertukaran tahanan yang komprehensif, memprotes pemecatan kepala Shin Bet Ronen Bar, dan mendukung keputusan Mahkamah Agung untuk menghentikan sementara pemecatan Bar dari jabatannya.

Times of Israel melaporkan bahwa demonstrasi mingguan ini dianggap lebih besar, lebih keras, dan lebih marah dari biasanya, dengan para pengunjuk rasa meneriakkan yel-yel menentang kebijakan pemerintah, menabuh genderang, dan meneriakkan "Malu!" melalui pengeras suara.

Protes di Begin Road pekan ini menarik ribuan pemukim, yang memenuhi jalan antara jalan Kaplan dan Shaul Hamelech, hampir dua kali lipat jumlah peserta dalam beberapa minggu terakhir, menurut situs web tersebut.

Selama demonstrasi tersebut, pemimpin oposisi Israel Yair Lapid mengatakan, "Jika pemerintah 7 Oktober memutuskan untuk tidak mematuhi putusan pengadilan, maka pada saat itu juga, pada hari itu juga, mereka akan menjadi pemerintah yang melanggar hukum."

"Jika itu terjadi, seluruh pemerintahan harus berhenti, karena satu-satunya sistem yang tidak bisa berhenti adalah aparat keamanan," imbuh Lapid seraya menekankan, "Kami akan menentang segala bentuk pembangkangan, tetapi selain itu semua harus dihentikan."

 

"Perekonomian harus dihentikan, Knesset harus dihentikan, pengadilan harus dihentikan, pemerintah daerah harus dihentikan, dan bukan hanya universitas yang harus dihentikan, tetapi sekolah juga," katanya sambil mengancam, "Jika memungkinkan untuk mengorganisir pemberontakan pajak, kami akan mengorganisir pemberontakan pajak."

Sementara itu, Ketua Partai Demokrat, Yair Golan, menyerukan semua pemimpin oposisi untuk bersatu dan bersatu.

Sementara itu, Danny Elgarat, saudara Itzik Elgarat, yang jenazahnya baru-baru ini dipulangkan dari Gaza untuk dimakamkan di rumahnya di Kibbutz Nir Oz, mengatakan, "Jumlah tahanan yang tewas akan meningkat karena dimulainya kembali pertempuran di Gaza."

Ia menambahkan bahwa perintah Netanyahu-lah yang membunuh mereka. Putra Ben Zion itu mengarahkan kejadian-kejadian dan bertindak melawan kepentingan Israel. Negara ingin para tahanan itu mati, diam, dan tidak diketahui identitasnya.

 

Elgarat meminta Jaksa Agung untuk mencegah Netanyahu melanjutkan, menuntut agar Kepala Staf IDF berhenti mengikuti perintah Netanyahu, dan menyerukan pemogokan umum.

Sebelumnya hari ini, perwakilan keluarga tahanan Israel mengeluarkan pernyataan sebagai tanggapan atas dimulainya kembali pertempuran di Jalur Gaza, menyerukan dimulainya kembali negosiasi segera untuk mencapai kesepakatan.

Mereka menekankan bahwa "pertempuran tersebut dapat mengancam nyawa tahanan yang masih hidup dan mereka yang terbunuh," dan meminta pemerintah pendudukan untuk bekerja terlebih dahulu untuk memulangkan mereka semua.

Yehuda Cohen, ayah dari tentara tawanan Nimrod Cohen, berkata, "Hari ini menandai hari ke-533 di mana 59 tahanan, baik pria maupun wanita, ditahan di Gaza. Setelah Netanyahu menghancurkan perjanjian tersebut, kini ia menghancurkan kehidupan para tahanan di Gaza."

 

Ia menambahkan, "Kami mengimbau kepada semua orang: Netanyahu membunuh tahanan dan menghancurkan segalanya! Turunlah ke jalan, ini darurat!"

Cohen menegaskan, "Netanyahu dengan sengaja memutuskan untuk mengorbankan nyawa anak saya, memilih Smotrich dan Ben-Gvir. Ini adalah kebenaran yang harus diungkapkan di mana-mana. Alih-alih memilih menyelamatkan nyawa, Netanyahu memilih kematian."

Malaysia mengutuk Israel

Malaysia mengutuk sekeras-kerasnya serangan terbaru Israel ke atas Gaza, khususnya di Rafah, yang telah merenggut lebih dari 600 nyawa rakyat Palestina dalam tempo tiga hari.

Kementerian Luar Negeri Malaysia dalam pernyataannya diterima di Kuala Lumpur, Sabtu mengatakan, pembunuhan massal dan kejahatan genosida ini membuktikan arogansi rezim Zionis Israel yang terus melanggar hukum internasional, hak asasi manusia, serta prinsip kemanusiaan universal.

 

Serangan kejam ini bukan saja memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza, tetapi juga menghancurkan usaha diplomatik menuju perdamaian.

Ini sekali lagi menunjukkan niat jahat Israel untuk melenyapkan rakyat Palestina tanpa belas kasihan.

Demi perdamaian dan keadilan, Malaysia mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan masyarakat internasional untuk bertindak tegas menghentikan pertumpahan darah dan genosida yang sedang berlaku.

Israel harus dipaksa mematuhi hukum internasional, menghormati resolusi PBB, dan kembali ke meja perundingan.

Malaysia, menurut pernyataan itu, akan terus mengintensifkan upaya diplomatik melalui kerja sama dengan Organisasi Kerja sama Islam (OKI), Liga Arab, dan mitra internasional untuk mengakhiri konflik ini dan mengadvokasi pembentukan Negara Palestina yang merdeka dan berdaulat, berdasarkan perbatasan sebelum tahun 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

Dubes Amerika di Jakarta didemo

Massa aksi dari berbagai elemen organisasi dan agama berkumpul di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Jakarta pada Jumat (21/3) pukul 15.30 WIB. Aksi damai ini digelar sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina, menuntut Israel menghentikan serangan yang telah menelan banyak korban jiwa.  
 
Massa membawa berbagai atribut, termasuk bendera Palestina dan spanduk dukungan, sebagai bukti bahwa rakyat Indonesia terus berdiri bersama Palestina. Sebuah panggung utama disediakan untuk orasi dari berbagai perwakilan. Dalam orasi mereka, para tokoh menyuarakan kecaman terhadap Israel yang dianggap mengkhianati kesepakatan gencatan senjata serta tidak menghormati bulan suci Ramadhan dengan terus melancarkan serangan.  
 
 

Menurut laporan terbaru, serangan Israel sejak Selasa telah menyebabkan hampir 700 korban jiwa, termasuk perempuan dan anak-anak. Situasi ini memicu kemarahan masyarakat global, termasuk Indonesia.  
 
Sementara itu, beberapa hari lalu, Presiden RI Prabowo Subianto menerima utusan khusus dari Presiden Palestina yang menyampaikan surat terkait kondisi terkini di Palestina. Indonesia terus berkomitmen untuk mendukung perjuangan Palestina di berbagai forum internasional.  
 
Aksi solidaritas ini berlangsung dengan damai, diakhiri dengan doa bersama untuk keselamatan rakyat Palestina dan perdamaian dunia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler