YLBHI Kritisi Peretasan Aktivis Anti Korupsi
YLBHI sayangkan lembaga penegak hukum tak responsif tindak upaya peretasan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menanggapi dugaan peretasan terhadap aktivis anti korupsi saat menggelar konferensi pers. Ia menyimpulkan aksi ini cenderung berulang terjadi kepada suara-suara yang lantang menentang ketidakadilan.
Asfinawati menyebut suara yang sering mendapat perlawanan ialah isu pelemahan KPK. "Peristiwa yang selalu berulang dan terpola. Salah satunya setiap perlawanan terhadap pelemahan KPK," kata Asfinawati kepada Republika.co.id, Rabu (19/5).
Asfinawati menyayangkan lembaga penegak hukum yang tak responsif dalam menindak upaya peretasan tersebut. Ia juga mendapati mereka yang melaporkan peretasan ke polisi tak kunjung memperoleh titik terang.
"Tidak pernah ada pengungkapan dan penegakan hukum. Bahkan terhadap mereka yang sudah melapor ke polisi," ujar Asfinawati.
Alhasil, Asfinawati menuding peretasan aktivis anti korupsi menjadi langkah pembungkaman terhadap mereka yang kritis. Ia menyayangkan tindakan semacam itu justru menurunkan demokrasi Indonesia ke titik nadir.
"Ini pembungkaman dan benar ketakutan sekaligus penyingkiran suara kritis, tentu ini merusak demokrasi," tegas Asfinawati.
Di sisi lain, Asfinawati merujuk pasal 26 ayat (1) UU 19/2016 terkait upaya peretasan. Isi pasal itu "Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan".
Dijelaskan pula mengenai Pasal 26 ayat (1) UU 19/2016, dalam pemanfaatan teknologi informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.
"Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang," ucap Asfinawati mengutip penjelasan Pasal tersebut.
Sebelumnya, sejumlah aktivis antikorupsi mengalami upaya peretasan saat melaksanakan konferensi pers daring bersama delapan mantan pimpinan KPK pada Senin (17/5). Upaya peretasan dialami oleh anggota Indonesia Corruption Watch (ICW) hingga para mantan pimpinan KPK yang jadi pembicara dalam konferensi pers yang menyikapi upaya pemberhentian 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).
Pembicara yang hadir dalam ruangan zoom yakni enam mantan pimpinan KPK yakni Busyro Muqoddas, Adnan Pandu Praja, Saut Situmorang, Moch Jasin, Bambang Widjijanto dan Agus Rahardjo. Sementara itu peneliti ICW yang hadir yakni Nisa Zonzoa, Kurnia Ramadhana, dan Tamima.