Junta Gunakan Mayat untuk Ciptakan Ketakutan Warga Myanmar

sejak kudeta militer pada 1 Februari, lebih dari 825 orang dibunuh di Myanmar

AP
Pasukan keamanan bersiaga di jalan Hledan di kota Kamayut Yangon di Myanmar, Senin, 29 Maret 2021.
Rep: Dwina Agustin Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Junta Myanmar menggunakan tubuh dan mayat yang terluka untuk menciptakan kecemasan, ketidakpastian, dan menimbulkan ketakutan pada penduduk sipil. Temuan itu didasarkan pada lebih dari 2.000 kicauan di Twitter dan gambar daring, selain wawancara dengan anggota keluarga, akun saksi, dan laporan media lokal.

Baca Juga


Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), sebuah organisasi pengawas yang memantau penangkapan dan kematian, menyatakan sejak kudeta militer pada 1 Februari, lebih dari 825 orang telah dibunuh. Meskipun beberapa insiden yang menimbulkan korban jiwa mungkin tampak acak dan tidak beralasan itu sebenarnya disengaja dan sistematis dengan tujuan melumpuhkan orang dan membuat mereka lelah.

"Itu, persis seperti karakteristik teror negara," ujar peneliti di Australian National University  yang berspesialisasi dalam politik hukum dan kepolisian di Myanmar, Nick Cheesman.

Analisis oleh The Associated Press (AP) dan Human Rights Center Investigations Lab (HRC) di University of California, Berkeley, mengamati kasus-kasus ketika tubuh orang-orang yang menjadi sasaran tanpa pandang bulu oleh polisi dan militer digunakan sebagai alat teror. Lebih dari 130 kejadian pasukan keamanan tampaknya menggunakan mayat dan tubuh yang terluka untuk menciptakan kecemasan, ketidakpastian, dan menimbulkan ketakutan pada penduduk sipil.

Lebih dari dua pertiga kasus yang dianalisis terkonfirmasi atau dikategorikan memiliki kredibilitas sedang atau tinggi. Hasil itu seringkali melibatkan penelusuran sumber asli konten atau mewawancarai pengamat.

 

Lab HRC memeriksa berjam-jam rekaman yang diunggah secara daring selama periode dua bulan yang menunjukkan mayat direnggut dari jalan dan diseret seperti karung beras sebelum dilempar ke kendaraan dan dibawa ke tujuan yang tidak diketahui. Beberapa orang hilang atau ditangkap suatu hari dan kembali dalam keadaan mati pada hari berikutnya, mayat mereka dimutilasi dengan tanda-tanda penyiksaan.

Dikutip dari dailysabah, otopsi telah dilakukan tanpa izin keluarga. Beberapa sertifikat kematian menyalahkan serangan jantung atau jatuh setelah serangan kekerasan. Kremasi dan penggalian jenazah dilakukan secara diam-diam pada tengah malam oleh pihak berwenang.

"Itu selalu menjadi strategi militer untuk menyembunyikan penumpasan massal di sana, pembunuhan massal para pengunjuk rasa," kata peneliti Cornell University yang mempelajari pemberontakan berdarah tahun 1988 dan 2007 di Myanmar, Van Tran. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler