Cegah Klaster Daerah Diminta Buat Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi bisa mencegah perluasan penularan Covid-19.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mencatat adanya klaster baru Covid-19 di masyarakat akibat penularan dari para pelaku perjalanan yang melakukan mudik, ibadah tarawih, kegiatan halal bihalal, dan lainnya. Juru Bicara Pemerintah Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito meminta seluruh daerah agar melakukan penyelidikan epidemiologi yang lebih optimal.
“Penyelidikan epidemiologi merupakan sebuah kumpulan upaya untuk mengetahui gambaran gejala serta penyakit penyerta dan aspek kependudukan dari aspek positif seperti sebaran tempat atau sumber penularan, jenis kelamin, maupun usia, demi mencegah perluasan penularan Covid-19 dengan manajemen lanjutan yang tepat berdasarkan hasil dari pelacakan kontak,” jelas Wiku saat konferensi pers, Jumat (29/5).
Wiku mengingatkan agar berbagai tahapan terkait alur pelacakan kontak dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Pertama yakni tahapan identifikasi kasus positif. Data kasus positif ini bisa didapatkan dari puskesmas maupun laporan RT/RW. Pada tahapan ini, lanjutnya, diperlukan partisipasi aktif dari masyarakat agar terbuka saat wawancara terkait riwayat aktivitas yang dilakukan.
Kedua yakni melakukan pelacakan kontak setelah mengetahui data kasus positif. Identifikasi kontak dapat dilakukan oleh posko setempat melalui wawancara dengan kasus positif.
“Setelahnya, tim tracing yang terdiri dari unsur Babinsa dan Babinkamtibnas dengan bantuan tenaga dari puskesmas dapat menilai kontak erat. Selanjutnya, setiap orang di daftar kontak erat dihubungi dan dicatat dalam data surveilans,” tambah dia.
Dan tahapan ketiga yakni melakukan tindak lanjut dan manajemen kasus yaitu dengan mewajibkan seluruh kontak erat agar melakukan karantina selama 14 hari di fasilitas karantina yang disediakan. Jika tidak ditemukan gejala apapun pada hari ke-14, maka yang bersangkutan dapat melakukan aktivitas seperti biasa. Namun jika ditemukan gejala ringan, maka perlu dilakukan kembali testing dan isolasi. Dan jika ditemukan gejala sedang atau berat, maka harus dilakukan kembali testing dan dirujuk ke faskes untuk isolasi dan perawatan intensif.
“Pemerintah telah menyediakan alternatif untuk mendukung penyelidikan epidemiologis yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan daerah masing-masing. Misalnya mensubstitusi PCR test dengan metode testing yang lebih efisien, misalnya dengan rapid test antigen,” jelas Wiku.