Laporan Sebut Genosida Rohingya tak Tunjukan Mereda

Sejak 2017, hampir 24 ribu Muslim Rohingya telah dibunuh.

ANTARA/Rahmad
Sejumlah pengungsi etnis Rohingya berdiri di tempat perlindungan (shelter) yang baru diresmikan di Desa Meunasah Mee, Lhokseumawe, Aceh, Rabu (24/2/2021). UNHCR meresmikan sebanyak 30 unit shelter baru dengan fasilitas satu unit ruang belajar, 28 unit toilet, lima unit tempat cuci, satu unit dapur umum, lapangan bola voli dan takraw untuk ditempati 108 orang sisa pengungsi Rohingya di Aceh.
Rep: Fergi Nadira Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Kelompok pembela hak Rohingya yang berbasis di Inggris, Organisasi Rohingya Burma Inggris (BROUK), mengklaim genosida terhadap Rohingya tidak menunjukkan tanda-tanda mereda di Myanmar. Genosida masih terjadi meski ada perintah pengadilan tertinggi PBB kepada otoritas Myanmar untuk melindungi komunitas minoritas.

"Sejak awal 2021, setidaknya 15 Rohingya, termasuk sembilan bayi dan anak kecil, telah meninggal sebagai akibat langsung dari pembatasan perjalanan yang memberatkan dan ilegal yang mencegah akses ke perawatan medis," tulis laporan BROUK yang dirilis pada Senin lalu, dikutip laman Anadolu Agency, Sabtu (29/5).

Pembebasan tersebut juga bertepatan dengan tugas Myanmar untuk melapor ke Mahkamah Internasional (ICJ), tentang langkah mencegah tindakan genosida terhadap minoritas Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Myanmar seharusnya menyerahkan laporan berkala ke ICJ pada 23 Mei.

Pengadilan, pada Januari 2020 memberlakukan perintah hukum yang memerintahkan otoritas negara mayoritas Buddha di Asia Tenggara itu untuk mencegah dan menghentikan tindakan genosida terhadap Rohingya sebagai bagian dari tindakan sementara dan menyerahkan laporan tindak lanjut dalam kasus genosida yang dibawa oleh Gambia. Menurut laporan oleh Ontario International Development Agency, sejak 25 Agustus 2017, hampir 24 ribu Muslim Rohingya telah dibunuh oleh pasukan negara Myanmar, lebih dari 34 ribu orang dilempar ke dalam api, lebih dari 114 ribu lainnya dipukuli, sebanyak 18 ribu wanita dan gadis diperkosa dan setidaknya 115 ribu rumah dibakar.

Namun ketidakpastian telah membayangi kasus ini karena kudeta militer 1 Februari di Myanmar yang menggulingkan pemerintah yang terpilih secara demokratis. Tokoh Myanmar dalam kasus ICJ, mantan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, telah ditempatkan di bawah tahanan rumah oleh rezim militer, dan menghadapi hukuman hingga 26 tahun penjara atas berbagai tuduhan.

Mendasari krisis yang terjadi di Myanmar, BROUK meminta komunitas internasional untuk melipatgandakan upaya untuk meminta Tatmadaw (militer Myanmar) untuk bertanggung jawab atas kejahatan kekejaman. Pembela hak asasi juga mendesak Pemerintah Persatuan Nasional untuk memberikan dukungan penuh pada upaya peradilan internasional, dan menyerahkan laporannya sendiri kepada ICJ yang menjelaskan bagaimana itu akan mengakhiri penganiayaan melawan Rohingya.

"Tindakan keras militer yang brutal di Myanmar sejak kudeta kembali menyoroti betapa pentingnya keadilan bagi negara kami. Para jenderal yang sama yang memimpin pembunuhan ribuan Rohingya di Negara Bagian Rakhine sekarang menembaki pengunjuk rasa damai di jalan-jalan," kata kepala BROUK Tun Khin.

Merujuk pada kelalaian yang telah lama ada terhadap Rohingya di bawah rezim sipil dan militer, laporan tersebut mengeklaim bahwa hukum dan kebijakan (dulu) menahan Rohingya di penjara terbuka di Negara Bagian Rakhine, di mana mereka tidak diberi kewarganegaraan dan kebebasan bergerak. "Pemerintah sipil sebelum kudeta tidak mengambil langkah berarti untuk mengubah situasi ini," ujarnya.


Baca Juga


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler