Eropa Ubah Islamofobia Jadi Mitos Berbahaya
Islamofobia adalah masalah terhadap komunitas Muslim.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah di Prancis, Austria dan Jerman dinilai mengabaikan realitas rasisme anti-Muslim.Dalam beberapa tahun terakhir, perang budaya melawan studi Islamofobia telah dilancarkan di Prancis, Austria, dan Jerman.
Dilansir dari Middle East Eye pada Rabu (2/6), John L Esposito dan Farid Hafez mengatakan, pemerintah Eropa, partai politik dan ideolog telah menyangkal bahwa Islamofobia adalah masalah terhadap komunitas Muslim.
Menurut Esposito dan Hafez, selama dua dekade terakhir, studi tentang Islamofobia semakin muncul sebagai sub-bidang akademik, yang mendokumentasikan dan menantang rasisme, diskriminasi, ujaran kebencian, dan kekerasan anti-Muslim di seluruh dunia.
Informasi tentang penyebab dan dampak Islamofobia telah muncul di buku, jurnal, konferensi, laporan media dan jajak pendapat utama, namun, sejumlah pemerintah Eropa masih berusaha untuk menyangkal keberadaannya.
Di Prancis, pemerintah telah menindak kebebasan penelitian universitas. Presiden Prancis Emmanuel Macron dan para menteri utama telah mengklaim bahwa Islam mengancam masyarakat Prancis, terutama universitas.
Menteri Pendidikan Tinggi, Frederique Vidal menuduh beberapa cendekiawan memajukan ide-ide radikal, dan aktivis menuduh bahwa para sarjana ras dan gender melihat segala sesuatu melalui prisma keinginan mereka untuk memecah belah, untuk menentukan musuh.
Pemerintah Prancis dan para pendukungnya tidak menerima perdebatan kritis tentang bidang studi Islamofobia yang sedang berkembang. Filsuf Prancis kontemporer Pascal Bruckner berpendapat dalam bukunya An Imaginary Racism: Islamophobia and Guilt bahwa Islamophobia adalah fabrikasi, dipersenjatai oleh Islamis untuk intimidasi massal. Dia menyimpulkan bahwa anti-rasis telah menjadi rasis sendiri, dan menyerukan pembelaan nilai-nilai barat.
Jenis wacana Islamofobia ini telah digunakan oleh pemerintah dan politisi Eropa lainnya untuk membungkam kritik terhadap kebijakan asimilasi mereka terhadap populasi Muslim kelas pekerja.
Lorenzo Vidino, seorang sarjana hukum yang mempromosikan teori konspirasi tentang Ikhwanul Muslimin, telah menjabat sebagai penasihat pemerintah Eropa dan terhubung dengan sejumlah think-tank anti-Muslim di AS dan Eropa. Kemudian nasionalis kulit putih Norwegia, Anders Behring Breivik mengandalkan ide-ide yang disebarkan oleh Vidino tentang Ikhwanul Muslimin yang menyusup ke Eropa.
Vidino berpendapat bahwa organisasi Ikhwanul Muslimin adalah kuda Troya modern, terlibat dalam semacam subversi tersembunyi yang bertujuan melemahkan masyarakat Eropa dari dalam dan menggantinya dengan tatanan Islam. Vidino juga menuduh bahwa jaringan Ikhwanul Muslimin memiliki mesin propaganda yang luar biasa untuk mendiskreditkan lawan melalui tuduhan Islamofobia.
Vidino juga mengatakan bahwa Ikhwanul Muslimin lah yang membesar-besarkan insiden Islamofobia dengan berargumen bahwa pemerintah dan masyarakat Barat memusuhi mereka dan Islam. Vidino berpendapat bahwa narasi mereka ini sebagai langkah pertama menuju radikalisasi, yang dapat mengarah pada kekerasan.
Laporan tersebut memberikan dasar bagi pejabat dan badan pemerintah Austria untuk mendiskreditkan diskusi tentang Islamofobia. Partai Kebebasan sayap kanan Austria dan Partai Rakyat Austria yang berkuasa, di bawah kepemimpinan Sebastian Kurz, memiliki catatan panjang tentang pidato dan undang-undang Islamofobia.
Di Jerman, partai-partai konservatif Kristen yang berkuasa, CDU dan CSU, baru-baru ini mengeluarkan makalah yang mengutip teolog Muslim Mouhanad Khorchide, yang mengatakan bahwa istilah seperti Islamofobia dan rasisme anti-Muslim telah menjadi istilah tempur Islam poitik. Sebuah surat terbuka sebelum makalah tersebut menegaskan pentingnya tidak “terintimidasi oleh tuduhan Islamofobia yang tidak berdasar”.
Para politisi di Austria, Jerman dan Prancis telah membingkai Islam politik, separatisme Islam atau Islamisme sebagai ancaman terbesar yang dihadapi masyarakat Eropa. Hal ini memungkinkan para pemimpin politik untuk membenarkan tindakan drastis terhadap sekelompok muslim yang diduga berbahaya.
"Sebagai akibatnya, kami telah melihat penggerebekan yang menargetkan organisasi masyarakat sipil Muslim dan masjid atas nama melindungi negara. Namun, kebijakan semacam itu merusak kebebasan beragama, hati nurani, berbicara, dan berpikir yang dilindungi secara konstitusional," kata John L Esposito dan Farid Hafez.
Contoh terbaru dari dampak berbahaya dari perang budaya ini adalah serangan yang menargetkan 30 terduga teroris di Austria November lalu. Menteri Dalam Negeri, Karl Nehammer berpendapat itu bertujuan untuk memotong akar politik Islam. Namun ketika para tersangka kemudian diinterogasi, mereka ditanyai pertanyaan - pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan kekerasan, dan banyak berhubungan dengan perspektif orientalis tentang Islam.
Pertanyaannya antara lain: Apa yang Anda pahami dengan istilah “Islamofobia”? Menurut Anda, apakah istilah ini dibenarkan? Apakah Muslim ditindas di Austria? Apakah terorisme global Islam mungkin menjadi alasan ketakutan yang berasal dari Islam, atau apakah itu penindasan, terutama terhadap perempuan atau orang-orang dari agama lain, oleh norma-norma Syariah? Apakah Anda membangunkan istri Anda untuk sholat di pagi hari? Apakah anak Anda diperbolehkan bermain musik? Apakah Anda memiliki teman non-Muslim? Apakah putri Anda diperbolehkan menikah dengan seorang Kristen, Yahudi atau ateis?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu mengungkapkan sejauh mana Islamofobia telah menjadi istilah yang bermasalah bagi otoritas negara, karena tindakan keras terus berlanjut terhadap masyarakat sipil Muslim dan cendekiawan kritis.