Depresi Jadi Gejala Terbaru Long Hauler Covid-19
'Long hauler' merujuk pada pasien yang sembuh dari Covid-19 namun masih bergejala.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ilmuwan di seluruh dunia masih terus mempelajari apa yang mungkin terjadi akibat infeksi Covid-19. Salah satu informasi terkini yang terungkap adalah depresi sebagai gejala yang dialami oleh pasien long hauler.
Istilah long hauler merujuk pada pasien yang sembuh dari Covid-19 namun masih mengeluhkan gejala-gejala serupa Covid-19. Itu bisa terjadi selama beberapa waktu setelah dinyatakan pulih dari penyakit tersebut.
Depresi pada long hauler bukan sekadar depresi, tapi berupa immune mediated depression. "Ini mengacu pada hubungan antara sistem kekebalan tubuh dan depresi, khususnya terjadinya peradangan," kata psikolog klinis berlisensi Jenna Palladino.
Berdasarkan tinjauan para peneliti, kegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh dapat berkontribusi pada peningkatan depresi. Utamanya, kondisi tersebut tampak pada individu dengan penyakit autoimun.
Neuropsikiater Adam Kaplin menyampaikan, dalam kasus penyakit autoimun dan infeksi, tingkat peradangan memang jauh lebih besar. Tingkat depresi klinis pada pasien yang terkena dampak Covid-19 pun telah terpantau tinggi.
"Meskipun masih ada penelitian yang perlu dilakukan pada dampak long hauler, bukti aktivasi persisten sistem kekebalan tubuh dan hubungannya dengan depresi merupakan kasus yang perlu disoroti," ujar Kaplin.
Dia mengutip sebuah penelitian terkini di Harvard yang menemukan bahwa 52,4 persen pasien Covid-19 berskala sedang atau lebih parah memenuhi kriteria gejala depresi berat. Rata-rata kondisi itu terjadi empat bulan setelah infeksi awal.
Kaplin menggarisbawahi bahwa kasus Covid-19 hampir selalu disertai dengan respons imun yang berlebihan. Dua informasi tersebut menjadi argumen meyakinkan bahwa apa yang dialami pasien long hauler memang immune mediated depression.
Tentu saja, ada kemungkinan lain yang dapat dipertimbangkan. Misalnya, stres terkait pandemi, gaya hidup sedentari (kurang aktivitas fisik), tekanan psikologis, isolasi sosial, dan asupan makanan yang kurang sehat.
Cara terbaik untuk mencegah munculnya gejala tersebut (terutama pada orang yang belum pernah tertular Covid-19) adalah mendapat vaksinasi. Penting pula untuk diingat bahwa depresi dapat memengaruhi siapapun.
Jika diri sendiri, anggota keluarga, atau sahabat menunjukkan gejala depresi, terlepas dari apa penyebabnya, ada beberapa hal yang bisa jadi penanganan pertama. Salah satunya adalah aktif bergerak, baik olahraga atau kegiatan harian.
Rawat kesehatan fisik dengan makan sehat, juga membatasi alkohol atau penggunaan zat yang buruk bagi tubuh. Perhatikan waktu dan jumlah tidur yang berkualitas. Penting juga untuk tetap terhubung dengan orang-orang yang dicintai.
Bisa lewat pertemuan kelompok kecil, berjalan-jalan dengan seorang teman, menelepon anggota keluarga, atau bergabung dengan komunitas lokal. Batasi akses media sosial dan membaca kabar yang dirasa bisa menambah tingkat stres.
Jangan lupa bernapas dengan baik, yang bisa didukung lewat meditasi atau latihan yoga. Bersenang-senanglah dalam hidup seperti menikmati udara segar, bermain dengan hewan peliharaan, serta mencoba hobi baru.
Jangan menunggu lebih lama ketika mendapati diri sendiri atau orang terkasih menunjukkan gejala depresi lebih lanjut. Bantuan selalu tersedia, cukup hubungi dokter atau tenaga medis untuk penanganan tepat.
Kaplin mengingatkan pentingnya memahami bahwa depresi long hauler merupakan dampak peradangan dari infeksi pada fungsi pengatur suasana hati di otak. Intinya, itu hanya efek lain dari Covid-19.
"Bukan karena kelemahan pribadi atau cacat karakter. Dan sama seperti konsekuensi lain dari Covid-19, depresi harus dievaluasi oleh profesional kesehatan yang terlatih dan dirawat," tuturnya, dikutip dari laman Forbes, Rabu (9/6).