Pembuatan Film Penembakan Masjid Christchurch Dipertanyakan

Muslim Selandia baru tak melihat adanya urgensi pembuatan Film Penembakan Chris

Anadolu Agency
Warga menempatkan bunga di tugu peringatan sebagai penghormatan kepada para korban serangan teroris menyebabkan sedikitnya 50 orang tewas di Christchurch, di Selandia Baru pada 18 Maret 2019.
Rep: Dea Alvi Soraya Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, CANTERBURY -- Asosiasi Muslim Canterbury, Inggris mempertanyakan tentang urgensi penggarapan film yang terinspirasi dari teror di Christchurch. Film berjudul ‘They are Us’ Iitu akan mengambil sudut pandang Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern terhadap serangan yang dilakukan pendukung sayap kanan terhadap jamaah dua masjid di Christchurch 2019 silam. 

Baca Juga


Juru bicara Asosiasi Muslim Canterbury Abdigani Ali mengatakan serangan itu masih sensitif bagi masyarakat, merujuk pada cukup tingginya efek traumatis karena peristiwa tragis tersebut. 

"Meskipun pengakuan Perdana Menteri kami atas tanggapannya terhadap serangan memang pantas, kami mempertanyakan waktu dan apakah film itu tepat untuk saat ini," kata Ali, mengatakan bahwa produsen perlu memastikan bahwa mereka telah membaca temuan Komisi Penyelidikan Kerajaan mengenai serangan tersebut, dan untuk memahami bahwa badan intelijen Selandia Baru memiliki fokus eksklusif pada ancaman teroris dari komunitas Muslim sebelum serangan.

"Kami menyadari bahwa cerita 15 Maret perlu diceritakan, tetapi kami ingin memastikan bahwa itu dilakukan dalam hal yang tepat dan otentik,” ujarnya yang dikutip di RNZ, Jumat (11/6).

 

Juru bicara Dewan Wanita Islam Anjum Rahman mengaku sangat tidak nyaman dengan ide ini dan menyebut pembuat film mengambil keuntungan dari serangan masjid Christchurch dan narasi apa pun yang tidak berpusat pada korban. Rahman baru mengetahui film itu dibuat melalui media sosial hari ini dan terkejut dengan narasi cerita yang dilaporkan.

"Kami lebih suka menonton film yang berpusat pada para korban serangan dan keluarga mereka, yang berpusat pada kisah komunitas Muslim. Jelas, sebagai bagian dari akibatnya, cara Perdana Menteri menangani insiden itu tentu saja bagian dari cerita itu, yang perlu diceritakan, tetapi tidak boleh dipusatkan…” ujarnya.

"Cara komunitas Muslim menanggapi serangan itu harus menjadi bagian besar dari cerita itu."

Dia mengatakan jika film itu berjalan, produser perlu terlibat dengan komunitas sehingga ceritanya dapat secara akurat mencerminkan sifat supremasi kulit putih dan konsekuensi dari meminggirkan dan merendahkan komunitas. Dia juga menyarankan agar penggarapan film tidak perlu terburu-buru dan perlu diceritakan secara konkret dan sesuai dengan fakta.

 

"Hal-hal itu harus menjadi pusat cerita. Ini adalah topik yang sangat sensitif dan untuk melakukannya dengan adil, Anda harus melakukannya dengan baik dan mempertimbangkan semua poin itu," katanya.

"Saya pikir penting bagi orang untuk memahami masalah ini sekarang dan memahami dampak dari demonisasi dan dehumanisasi. Saya pikir ini sangat tepat untuk menceritakan kisahnya."

Rahman mengatakan uang yang dihasilkan dari menceritakan kisah itu harus digunakan untuk membantu masyarakat yang terkena dampak kekejaman itu. "Salah satu kekhawatiran saya yang lain adalah kemana keuntungan dari film semacam itu akan pergi. Saya merasa sangat tidak nyaman dengan apa pun yang mengambil untung dari tragedi orang lain," katanya.

Imam Masjid Al Noor, salah satu dari dua masjid yang menjadi sasaran serangan teror 2019, Gamal Fouda, mengatakan usai penyerangan, dirinya dan warga sekitar didatangi sejumlah orang yang berminat membuat film tentang penyerangan tersebut. Dia mengatakan jika film itu berlanjut, dia berharap itu akan tetap pada fakta dan fokus pada perdamaian dan cinta.

"Penting jika film itu mencerminkan fakta dan apa yang sebenarnya terjadi, daripada mengirim pesan yang membingungkan. Jika itu akan fokus pada perdamaian dan cinta dan koneksi, dan konkulsi dan jika itu akan berkontribusi pada sesuatu yang positif. 

"Tetapi jika mereka benar-benar akan membingungkan orang dan mengirim pesan yang membingungkan, maka saya pikir itu tidak akan menjadi sesuatu yang profesional dan tidak diterima,” ujarnya.

Dia mengatakan, komunitas Muslim di Christchurch sangat beragam dan pasti memiliki perasaan yang sangat beragam tentang prospek film tentang serangan tersebut. Ali mengatakan film tersebut bisa menjadi kesempatan untuk mengangkat perhatian terhadap isu Islamofobia.

"Ekstrimisme tidak memiliki agama, atau kepercayaan, warna kulit atau etnis. Penting untuk menekankan fakta ini. Ekstremisme bukan Kristen, atau Yahudi atau Muslim. Ini tentang penjahat, dan penjahat itu harus disebut sebagai penjahat saja, tanpa keyakinan mereka. atau etnis."

 

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler