Pelatih Karate DIY Buka Kelas Terbatas Sesuaikan Pandemi
Pembukaan kelas terbatas ini dilakukan agar pelatihan tetap berjalan.
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pandemi Covid-19 menyebabkan banyak tempat olahraga karate (dojo) tutup, khususnya di DIY. Sehingga, latihan karate pun terpaksa dihentikan di lingkungan dojo guna mencegah penyebaran Covid-19.
Salah satu pelatih karate di DIY, Kurnia Rahmad Dhani mengatakan, banyak pelatih karate yang akhirnya membuka kelas karate secara terbatas. Hal ini dilakukan agar latihan karate tetap berjalan di masa pandemi dengan diiringi protokol kesehatan yang ketat.
"Membuka kelas-kelas khusus privat terbatas, pembagian jadwal latihan juga disesuaikan dan ada pembatasan. Jadi tetap ada latihan, tapi shift-nya maksimal lima orang," kata Kurnia kepada Republika melalui sambungan telepon, Rabu (16/6).
Kurnia menuturkan, pembukaan kelas terbatas ini dilakukan agar pelatihan tetap berjalan walaupun intensitasnya berkurang. Pasalnya, untuk olahraga karate sendiri masih digelar berbagai kompetisi di masa pandemi saat ini.
Untuk menjaga performa atlet, latihan harus tetap berjalan. Sehingga, pembukaan kelas-kelas terbatas menjadi salah satu upaya yang dilakukan oleh pelatih karate.
Walaupun begitu, kata Kurnia, dengan segala keterbatasan di masa pandemi ini menyebabkan tidak banyak atlet yang dapat mengikuti kompetisi.
"Pada 2021 beberapa kompetisi sudah ada dan digelar online maupun offline. Yang offline itu beberapa kejuaraan sudah dilakukan seperti di Sleman kemarin yang Sleman Karate Liga itu, cuma atlet terbatas sekali mengikuti kompetisi," ujarnya yang juga dosen dan Pembina UKM Karate di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tersebut.
Kurnia menyebut, tidak seluruh pelatih karate di DIY yang membuka kelas terbatas. Sebab, ada beberapa pelatih karate yang tidak memiliki dojo dan hanya fokus mengajar di sekolah atau kampus.
Sementara, di masa pandemi saat ini kegiatan pembelajaran di sekolah maupun kampus dilakukan dengan daring (online). Sehingga, menyebabkan banyak pelatih karate yang kehilangan pekerjaan.
"Kebanyakan pelatih yang melatih di sekolah, kampus atau balai desa terpaksa off dan akhirnya pindah tempat," jelas Kurnia.