Antara Soekarno, Pemimpin Independen, dan Petugas Partai

Bung Karno berharap tak ada keturunannya menjadi pemimpin politik dan pemimpin negara

Gatehna.nl
Sutan Syahir, Sukarno, dan Hatta.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Saya bukan orang yang antiparpol. Parpol mutlak diperlukan dalam demokrasi. Namun, saya bisa paham ketika banyak kalangan menilai parpol justru jauh dari merepresentasikan kepentingan masyarakat. Juga saya bisa maklum manakala politisi parpol dipandang lebih mewakili tuntutan partainya ketimbang memperjuangkan kepentingan masyarakat yang memberikan suaranya langsung di kotak suara.

Dalam konteks itulah, selaku senator yang berarti merupakan representasi langsung masyarakat di daerah-daerah di seluruh Indonesia, saya berempati pada Ganjar Pranowo. Dia memang tokoh senior parpol. Namun, dari waktu ke waktu semakin nyata dia menyelami denyut kehidupan warga yang dipimpinnya, dan trade off-nya adalah dia menjadi kian berjarak dari partai yang menaunginya.

Tampaknya ada keinsafan bulat pada diri Ganjar bahwa dalam situasi harus memilih, dia pilih untuk mendahulukan warganya betapa pun itu menepikan partainya. Dan, ketika parpol menjadi berang akibat polah Ganjar itu, pada detik itu pula sah bagi Ganjar untuk menyandang status sebagai anggota parpol yang menolak menjadi petugas parpol.

Idealisme semacam itu sesungguhnya bukan barang baru. Justru Ganjar sedang memperagakan Soekarnoisme sejati. Bahwa meskipun Soekarno adalah pendiri dan tokoh sentral PNI, sebagai pemimpin nasional Bung Karno justru tidak memosisikan PNI sebagai partainya. Bung Karno bahkan kemudian malah berjarak dari partai yang dibentuknya. Begitu pula relasi Ganjar terhadap partainya.

Bedanya, PNI tidak pernah merasa kehilangan Soekarno, sementara PDIP justru seolah memandang Ganjar sebagai anak durhaka. Sebagai petugas yang membangkang terhadap titah panglimanya, tepatnya.

Apa sumber gesekan itu? Barangkali kita, sekali lagi, bisa becermin pada PNI. PNI tidak mempersiapkan putra mahkota sama sekali. Apalagi, pewaris PNI itu harus memiliki silsilah dari garis Bung Karno.

Bahkan, Bung Karno, dari bacaan yang saya punya, justru berharap tidak ada keturunannya yang menjadi pemimpin politik apalagi pemimpin negara. Kontras dengan itu, Ganjar disebut-sebut menjadi penghalang bagi rencana regenerasi kepemimpinan yang diinginkan partainya.

Ringkasnya, Ganjar memang tidak mewarisi DNA Soekarno. Tapi, sangat mungkin idealisme Bung Karno menitis ke dalam dirinya.

Dengan predikat selaku anggota parpol yang menolak menjadi petugas parpol itulah, Ganjar patut dikedepankan sebagai salah satu nama di barisan depan pemimpin Indonesia masa depan. Sekaligus, dia berpotensi kuat menjadi figur pendobrak kejumudan parpol dan pemecah kepengapan iklim berpartai yang kian dahsyat belakangan ini.

Lalu, dengan siapa Ganjar pantas berduet?


Gudangnya tokoh kepercayaan daerah yang bebas dari ikatan parpol, tak lain, adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Secara normatif, di situlah berhimpun individu-individu yang memurnikan kembali sila keempat Pancasila. Bahwa amanat rakyat harus dipikul langsung oleh wakil-wakil yang rakyat pilih tanpa diperantarai parpol.

Dengan dasar berpikir seperti itu, satu dari sejumlah nama dari DPD yang layak untuk mendapat sorotan adalah La Nyala Mataliti. Plus minus, La Nyala akan komplementer dengan Ganjar Pranowo. Termasuk, La Nyala adalah sosok murni independen, sementara Ganjar hingga kini masih merupakan sosok parpol, betapa pun ia menolak menjadi petugas parpol. Ketika mereka berdua disandingkan, misalnya presiden La Nyala Mataliti dan wakil presiden Ganjar Pranowo, tecerminlah sekian banyak kebinekaan Indonesia.

Tinggal lagi tantangannya adalah bagaimana kita bisa membuka ruang bagi calon presiden independen. Amendemen UUD adalah pembuka jalan untuk itu. Dan, kuncinya ada pada kesadaran rakyat: sampai berapa lama mereka sudi sepenuhnya dikerdilkan eksistensinya oleh orang-orang yang boleh jadi lebih loyal pada partainya ketimbang menyayangi masyarakatnya? Presiden adalah petugas rakyat.

Namun, ironisnya, ketentuan yang ada justru presidential threshold terus menjadi mainan parpol. Inikah kedaulatan rakyat? Atau justru kedaulatan parpol?

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler