Pakar Sarankan Inggris Tambah Daftar Resmi Gejala Covid-19
Inggris hanya memiliki tiga gejala Covid-19 dalam daftar resmi.
REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Para pakar dari University College London (UCL) menyerukan agar daftar resmi gejala Covid-19 di Inggris ditambah. Selama ini, gejala Covid-19 dalam daftar resmi Layanan Kesehatan Nasional Britania Raya (NHS) dianggap belum mencakup keseluruhan tanda yang lazim dialami oleh pasien.
Orang yang didorong melakukan tes Covid-19 selama ini terbatas pada yang mengalami gejala batuk, demam, atau kehilangan indra penciuman. Para ahli menyerukan daftar gejala yang lebih panjang yang mencakup pilek, kelelahan, nyeri otot, sakit tenggorokan, kedinginan, dan diare.
Salah satu ilmuwan UCL, Alex Crozier, mengatakan bahwa banyak orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 saat ini mengalami gejala yang lebih ringan. Mereka bisa berasal dari kalangan anak-anak, dewasa muda, dan juga orang yang sudah mendapatkan satu dosis vaksinasi.
"Bagi mereka yang mendapatkan gejala inti, dibutuhkan dua hingga tiga hari lebih lama sehingga sulit menghentikan penularan. Kami ingin menjaga kasus tetap rendah tanpa perlu pembatasan populasi secara luas," ujar Crozier, dikutip dari laman The Sun, Kamis (1/7).
Caranya bermuara pada sistem pengujian, pelacakan, dan isolasi yang lebih sigap agar negara bisa segera kembali menuju kehidupan normal. Pada saat yang sama, gejala Covid-19 berubah akibat varian baru dan gejalanya berpotensi berbeda pada orang dengan usia yang lebih muda.
Paparan yang diterbitkan dalam British Medical Journal itu membandingkan Inggris dengan negara lain. Amerika Serikat dan Uni Eropa menggunakan lebih dari 10 gejala resmi untuk melacak kasus, sementara Inggris hanya memiliki tiga gejala dalam daftar resmi.
Laporan Kantor Statistik Nasional Inggris menemukan bahwa 60 persen orang yang dites positif Covid-19 di Inggris mengalami sejumlah gejala umum. Batuk, sakit kepala, lemas, dan demam paling sering terjadi di bulan Juni. Akan tetapi, sakit tenggorokan dan nyeri otot tidak tercatat.
Padahal, dua kondisi itu lebih umum terjadi, jika dibandingkan kehilangan indra penciuman atau indra perasa. Kebingungan atas gejala juga membuat sulit melacak pasien long Covid, yakni mereka yang tetap merasakan gejala setelah dinyatakan negatif corona.
Para ilmuwan dari University of Oxford menemukan bahwa dokter hanya mendiagnosis 23 ribu kasus long Covid antara Februari 2020 hingga April 2021. Jumlah itu berbanding sangat jauh dengan hasil survei yang menunjukkan ada dua juta pengidapnya.
"Kami sangat terkejut melihat perbedaan hampir 100 kali lipat antara perkiraan survei populasi dan diagnosis yang tercatat secara resmi untuk kondisi yang sama," ucap salah satu pakar, Ben Goldacre.
Penyebab dari perbedaan itu bisa jadi karena banyak orang merasakan penyakitnya dalam diam atau dokter tidak mencatat dengan benar ketika pasien mencari bantuan. Apalagi, ada sejumlah gejala yang tak terdaftar secara resmi.
Profesor Tim Spector dari King's College London menyampaikan bahwa gejala yang dirasakan pasien Covid-19 memang berbeda-beda. Bagi yang sudah mendapat vaksinasi, hal itu juga bergantung pada seberapa banyak perlindungan yang didapat.
Prof Spector yang merupakan pemimpin Covid Symptom Study itu mencontohkan gejala utama yang saat ini dicatat di aplikasi Zoe, antara lain sakit kepala, pilek, bersin, kelelahan, dan sakit tenggorokan. Bagi kebanyakan orang, gejala ini akan terasa lebih seperti flu biasa.
"Orang-orang sangat perlu tahu ada lebih dari sekadar tiga gejala klasik," kata Spector.