Sejarah Muslim Sri Lanka, Hidup Harmonis Hingga Penganiayaan

Kaum Muslim sangat dihargai oleh raja Budha Sri Lanka pada abad ke-9 hingga ke-19.

REUTERS/Dinuka Liyanawatte
Sejarah Muslim Sri Lanka, Hidup Harmonis Hingga Penganiayaan. Seorang pria Muslim berdiri di depan Abbraar Masjid yang hancur akibat serangan massa di Kiniyama, Sri Lanka, Senin (13/5).
Rep: Alkhaledi Kurnialam Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Komunitas Muslim Sri Lanka menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir karena kebijakan diskriminatif pemerintah di negaranya. Sejarah Muslim di Sri Lanka tercatat dimulai dalam harmoni, lalu ke kekerasan kolonial Barat, dan sekarang terancam oleh nasionalisme Buddha.

Baca Juga


Dilansir di 5 Pillars, jumlah komunitas Muslim Sri Lanka saat ini sebenarnya hanya di bawah dua juta atau sekitar 9 persen dari total populasi. Agama ini masuk ke pulau tersebut pada abad ke-7 Masehi melalui pedagang Arab, Suriah, Yaman hingga Afrika Utara.

Muslim yang masuk ke Sri Lanka saat itu menikah dengan wanita lokal yang kemudian masuk Islam, menetap di sepanjang garis pantai dan mendominasi jalur perdagangan rempah-rempah dan permata di luar negeri. Muslim India Selatan dengan nenek moyang Arab yang serupa juga datang ke pulau itu. Kedua komunitas ini kemudian dinamai “Bangsa Moor Sri Lanka” oleh penjajah Portugis.

Permukiman Muslim pertama ada di Kota Beruwala di Barat Daya pantai pulau itu. Permukiman didirikan pada abad ke-8 oleh Sheikh Yusuf bin Ahmad al-Kawneyn dari Somalia yang menyebarkan Islam di antara penduduk setempat. Saat ini kota tersebut juga memiliki mayoritas Muslim dengan banyak perdagangan permata, seperti yang dilakukan nenek moyang Arab mereka.

Kaum Muslim sangat dihargai oleh raja-raja Budha Sri Lanka selama periode Anuradhapura dan Kandyan (abad ke-9 hingga abad ke-19).  Mereka menjadi ahli perdagangan rempah-rempah dan permata serta beberapa bahasa. Nasihat mereka juga dicari dalam urusan luar negeri dan perdagangan.

Sejarawan Lorna Dewarajee menyatakan hubungan umat Islam dengan kerajaan di wilayah itu cukup harmonis. Para raja memahami hubungan antarkedua belah pihak sangat menguntungkan.

 

“Pedagang Muslim dengan keterampilan navigasi dan kontak luar negeri menjadi saluran komunikasi rahasia antara pengadilan dan dunia luar. Raja Sri Lanka mendorong umat Budha menjaga hubungan mereka dengan dunia Islam karena ini saling menguntungkan. Pada abad ke-13, Al Haj Aby Uthman dikirim oleh raja Sri Lanka, Bhuvanekabahu I, ke Pengadilan Mamluk Mesir untuk merundingkan perdagangan langsung. Mereka dikirim untuk misi penting dan rahasia ke India Selatan hingga masa Kandyan,” kata Lorna.

Penganiayaan dan pengusiran oleh Portugis

Sejarah harmonis itu mulai terusik ketika kedatangan penjajah Portugis pada 1505 yang juga menandai masa kegelapan karena penuh penganiayaan bagi Muslim. Orang Portugis menyimpan kebencian yang dalam terhadap Muslim, semacam islamofobia abad pertengahan.  

Kebencian ini diduga karena Arab memerintah Portugal yang kemudian dikenal sebagai Gharb Al-Andalus (sebelah barat Andalus) dari abad ke-8 hingga ke-12 Masehi. Tetapi Reconquista Portugis mengakhiri pemerintahan mereka pada 1249 ketika sebagian besar Muslim Portugis terbunuh, masuk Katolik atau melarikan diri. 

Mereka yang tersisa akhirnya diusir pada 1496 oleh Manuel I, hanya satu dekade sebelum Portugis datang ke Sri Lanka. Penjajahan Portugis ditandai dengan eksploitasi perpecahan politik antara Raja Buddha Sinhala, pengambilalihan perdagangan kayu manis yang menguntungkan di pulau itu, dan dakwah agama Katolik. Kegiatan misionaris yang intens terjadi di seluruh desa dengan iming-iming di antara aristokrasi Sinhala. 

Pada 1567, Dewan Ulama Goa melarang pemanggilan nama Nabi Muhammad, pembacaan Alquran, dan memerintahkan pembakaran tempat ibadah dan penyerahan tempat dan properti kepada gereja-gereja Kristen. Beberapa pembantaian ribuan Muslim terjadi di kota Matara, Weligama, Beruwela, dan Galle.

Kaum Muslim setelah banyak kekalahan ketika sering berperang bersama para penguasa Sinhala akhirnya berdamai dengan superioritas militer Portugis, membangun hubungan yang ramah untuk meningkatkan perdagangan. Portugis pada gilirannya membutuhkan keahlian Muslim dalam perdagangan. Perdamaian yang rapuh muncul.

 

Namun, itu tidak berlangsung lama. Pada 1626 Raja Portugis Philip IV memerintahkan pengusiran Muslim dari pulau itu.

Beberapa dari mereka pergi, sementara 4.000 orang ditawari perlindungan oleh Raja Senerath dari Kandy yang memberi mereka perlindungan di provinsi timur Batticaloa. Banyak yang akhirnya kembali ke pulau itu. Beberapa menyembunyikan identitas Muslim mereka atau tetap bersembunyi.

Setelah Sri Lanka memperoleh kemerdekaannya dari Inggris, akhirnya perang saudara pecah antara mayoritas Buddha Sinhala dan minoritas Tamil Hindu yang menginginkan negara terpisah antara utara dan timur. Konflik berdarah berlangsung dari 1983 hingga 2009 dengan kemenangan Sinhala.

Sementara Muslim membayar harga untuk non-kekerasan dan penghindaran militansi Tamil mereka. Di utara dan timur yang terkena dampak konflik, mereka dibunuh, secara etnis dibersihkan, diculik dan terusir dari rumah mereka.

Seorang biksu Buddha di Vihara Gintota, Ambalangoda Sumedhananda Thero mengatakan Islam bertujuan megambilalih wilayahnya. “Tujuan Muslim adalah mengambil alih semua tanah kami dan semua yang kami hargai. Pikirkan apa yang dulunya adalah tanah Buddha: Afghanistan, Pakistan, Kashmir, dan Indonesia. Mereka semua telah dihancurkan oleh Islam,” katanya.

 

Pada 2014 unjuk rasa anti-Muslim yang diserukan oleh BBS di Aluthgama menyebabkan kematian tiga Muslim, beberapa lainnya terluka dan bisnis milik Muslim dijarah dan dibakar. Pada 21 April 2019, bom bunuh diri yang dilakukan oleh ekstremis terjadi di tiga gereja dan tiga hotel di Sri Lanka menewaskan sekitar 277 orang dan melukai lebih dari 400 orang. Setelah serangan tersebut, insiden kekerasan etnis dan ketegangan yang menargetkan umat Islam komunitas terjadi di beberapa bagian negara.

Presiden saat ini Gotabaya Rajapaksa didukung oleh kaum nasionalis Buddha. Pada 2020, ia bersikeras untuk kremasi paksa terhadap Muslim korban Covid-19 meskipun bertentangan dengan keyakinan Islam dan nasehat Organisasi Kesehatan Dunia. Kampanye selama setahun oleh Muslim Sri Lanka dan upaya global dari komunitas Muslim dan internasional akhirnya mengarah pada pembalikan kebijakan.

Namun pada Maret 2021, larangan burqa, larangan impor buku-buku Islam dan penutupan ratusan madrasah (sekolah agama Islam) diumumkan. Hal ini menyebabkan ketakutan baru di kalangan komunitas Muslim. 

Sepanjang sejarah, Muslim Sri Lanka telah menunjukkan tekad yang kuat dalam menjaga keimanan dan ketahanan mereka dalam menghadapi diskriminasi. Hari ini mereka menghadapi ketidakpastian yang mengingat sejarah mereka hanya cenderung mengarah pada tekad yang kuat untuk bertahan hidup dan berkembang di pulau yang mereka sebut rumah.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler