Psikolog Ungkap Kalangan yang Cenderung Lakukan Panic Buying
Apakah Anda termasuk orang yang sempat panic buying kemarin ini?
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog klinis dewasa Mega Tala Harimukthi menyebut, orang dengan kecenderungan mudah cemas terbiasa untuk mengambil keputusan secara emosional. Mereka punya probabilitas melakukan pembelian yang impulsif atau panic buying.
"Ketika seseorang terbiasa mengambil keputusan secara emosional, akhirnya otak emosionalnya bekerja sangat cepat, sehingga tidak punya pertimbangan matang, sangat impulsif. Begitu melihat orang lain (termasuk di foto maupun video) belanja barang tertentu yang banyak, dia mulai panik," ujar Tala kepada Antara, dikutip Rabu.
Tanpa sadar, pikiran emosional orang pencemas akan mengambil keputusan sehingga dia bersikap impulsif membeli barang-barang yang menurut dia dibutuhkan. Kegagalan orang berdamai dengan kondisi tak pasti juga bisa menyebabkan kecemasan dan berujung panic buying.
Pada keadaan cemas, orang akan lebih mudah menyerap hal-hal yang sifatnya negatif. Mengapa? Awalnya dia sangat takut untuk mengalami hal negatif. Lalu, karena berpikir irasional, akhirnya dia malah mengikuti hal negatif.
Menurut Tala, orang seperti itu sudah merasa frustasi dan semakin merasakan ketidakpastian di masa depan. Ambang stresnya pun menjadi lebih rendah.
Orang tersebut, menurut Tala, juga tidak lagi toleran dengan sekitarnya dan tak jarang mengalami gangguan kecemasan. Akibatnya, dia bisa sangat mengkhawatirkan hal-hal yang sebetulnya tidak perlu terlalu dipikirkan.
Mereka yang mudah cemas memiliki kecenderungan mengalami kecemasan yang sifatnya antisipatif. Mereka berusaha preventif agar tidak mengalami hal buruk dan berusaha mengendalikan situasi agar sesuai dengan ekspektasinya.
Sisi buruknya untuk orang lain, panic buying bisa menular. Orang yang dalam kondisi sangat takut bisa sangat emosional mempersepsikan tingkah orang lain yang melakukan hal tertentu hingga kemudian mengikuti jejaknya.
Lantaran otaknya lebih mengutamakan sisi emosional dibanding logis, orang pencemas pun membeli banyak barang yang bisa saja bukan kebutuhan utamanya. Bahkan, orang tersebut terdorong memborong susu steril, tabung oksigen, dan aneka vitamin hingga produknya menjadi langka dan sangat mahal.
"Orang yang panik begini irasional, tidak masuk akal. Semakin dia menunjukkan kepanikannya dengan berbelanja itu, orang di sekitarnya bisa jadi ikut terbawa merasakan kepanikan itu," kata Tala.
Di lain sisi, kondisi mentalitas kelompok atau lingkungan juga bisa menjadi penyebab orang panic buying. Orang bisa menafsirkan sebuah kondisi berbahaya, menakutkan, mengkhawatirkan, dan penuh ketidakpastian dari reaksi orang di sekelilingnya.
"Otomatis dia jadi ikut seperti orang yang dia lihat," ujar dari psikolog dari Universitas Indonesia ini.
Media ikut berperan
Informasi yang beredar di media, termasuk media sosial memengaruhi terjadinya panic buying. Tala menganalisis, beredar video susu beruang diborong orang salah satunya karena informasi yang viral bahwa susu itu bisa menyembuhkan Covid-19. Orang yang dalam kondisi cemas kemudian melihat informasi tersebut secara otomatis terpengaruhi sehingga dia bersikap impulsif.
"Dorongan impulsif ini pada dasarnya karena dorongan emosional yang membuat dia ikut membeli atau memborong susu beruang ini, padahal sebelumnya dia bahkan enggak suka. Media sosial ini sangat besar pengaruhnya, karena kita bisa mengakses banyak informasi di situ mau yang valid atau tidak," kata Tala.
Sementara pada kasus tabung oksigen yang langka, Tala mencontohkan, adanya informasi yang menganjurkan orang-orang menyediakan tabung oksigen portabel di rumahnya. Hal itu mendorong orang membeli produk tersebut.
"Di satu sisi bagus untuk preventif. Tetapi di sisi lain, sekarang jadi habis-habisan. Kalaupun ada barangnya, harganya sudah enggak masuk akal. Sama hal seperti gelombang pertama kemarin, desinfektan, masker, dan hand sanitizer menjadi barang langka. Sekalinya ada harganya tidak masuk akal," tutur dia.
Agar hal serupa ini tak terjadi lagi, Tala menyarankan orang yang cenderung mudah cemas melakukan diet media sosial untuk menjaga kewarasan mental sekaligus fisiknya. Saat seseorang terbiasa cemas, panik, maka ini bisa menganggu fisiknya, mulai dari kualitas tidur terganggu, pikiran jadi lebih rumit, interaksi dengan orang lain menjadi lebih buruk, dan suasana hati memburuk.
"Coba diet media sosial karena pengaruhnya besar sekalli. Apalagi sekarang tidak hanya media sosial, kita melihat televisi saja isinya berita hal sama," kata Tala.