Jaga Anak dari Varian Delta, Apa yang Harus Ortu Pahami?
Varian Delta punya kemampuan lebih tinggi untuk menginfeksi lebih banyak orang.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Varian Delta virus penyebab Covid-19 saat ini sedang menjadi persoalan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Varian yang pertama kali muncul di India itu juga menyerang semua kelompok usia, tak terkecuali anak-anak.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS menyatakan bahwa orang dewasa yang telah mendapat dua dosis vaksin Covid-19 lebih mungkin terlindungi dari varian baru. Berbeda halnya dengan anak-anak di bawah usia 12 tahun yang belum memenuhi syarat untuk divaksinasi.
Meski begitu, risiko anak-anak mengalami komplikasi parah atau kematian akibat virus jauh lebih kecil dibanding orang dewasa. Sebagian besar anak yang terkena Covid-19 masih tergolong kategori ringan atau tanpa gejala. Tidak ada indikasi bahwa dewasa muda dan anak-anak lebih rentan secara proporsional terhadap varian Delta daripada kelompok usia lainnya.
"Tidak ada bukti bahwa penyakit ini lebih parah pada anak-anak," kata dokter penyakit menular dari University of California di Amerika Serikat, Monica Gandhi, seperti dilansir Fox News, Rabu (7/7).
Terlepas dari itu semua, melindungi anak dari paparan Covid-19 adalah penting. Lalu apa yang perlu dilakukan orang tua untuk memastikan buah hati terhindar dari varian Delta?
Dokter penyakit menular pediatri di Rumah Sakit Anak St Louis, Andrew Janowski, menjelaskan bahwa anak yang tidak divaksinasi dianjurkan menggunakan masker ketika di dalam ruangan. Masker harus dikenakan terutama saat anak berada di kerumunan orang dewasa.
Meski beberapa negara bagian AS telah melonggarkan aturan masker dan jarak sosial bagi mereka yang telah divaksin, anak-anak yang tidak divaksin harus tetap menerapkan protokol kesehatan.
"Keluarga dan para orang tua disarankan dapat menerapkan aturan (protokol kesehatan) yang sama yang telah mereka ikuti sebelumnya," kata Janowski.
Tak hanya itu, orang tua juga harus bisa memilih daerah aman jika hendak bepergian bersama anak. Orang tua disarankan tidak bepergian ke daerah yang capaian vaksinasinya masih rendah. Sebab, daerah tersebut lebih mungkin terjadi lonjakan kasus dan berpotensi menciptakan ketegangan yang lebih besar di rumah sakit setempat.
“Untuk keluarga yang hendak bepergian ke berbagai negara bagian, disarankan untuk melacak jumlah kasus tes positif dan angka kematian. Anda berhak untuk melakukan sesuatu yang terasa normal, tapi utamakan keamanan keluarga,” kata kepala petugas kesehatan University of Michigan, Preeti Malani.
Sementara itu, Ketua umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr dr Aman Bhakti Pulungan SpA(K) dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, di Jakarta, Senin (5/7), mengungkapkan bahwa anak yang meninggal akibat Covid-19 umumnya memiliki komorbid. Ia mengingatkan bahwa anak-anak dengan penyakit penyerta selama ini kondisinya bisa terkontrol dan tidak sakit.
Begitu terpapar SARS-CoV-2, menurut dr Aman, anak-anak dengan malnutrisi, kanker, tuberkulosis, kelainan genetik, hingga penyakit jantung bawaan menjadi sangat berisiko. Apalagi, pengetesan Covid-19 pada anak jarang dilakukan.
Akibatnya, banyak anak tidak terdeteksi Covid-19 atau terlambat terdeteksi. Dokter anak pun tak berkesempatan untuk memberikan perawatan.
Di samping itu, rumah sakit pun sudah kewalahan menangani pasien dewasa bercampur dengan anak. Dr Aman pun menyerukan agar orang tua menjaga anaknya dengan tidak mengajaknya keluar rumah.
"Anak mau dibawa ke mana? Anak mau kita rawat ke mana kalau ada yang sakit sekarang?" tuturnya.
Di samping itu, Aman juga mengingatkan risiko long Covid pada anak. Gejala Covid-19 yang persisten masih perlu dipelajari dan perlu dipertimbangkan.
"Kalau testing pada anak kurang, kita akan dapati kasus long Covid nantinya. Nanti rambutnya rontok, tidak bisa konsentrasi, badannya ngilu, terus sesak. Apa kita mau anak Indonesia seperti ini?" kata Aman.