Biden, Bennett, dan Selamat Tinggal Palestina..!
Bennet intinya lebih mempertahankan status quo.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Faisal Assegaf, Jurnalis Pengamat Timur Tengah dan Pendiri Albalad.co
Siapa saja penerus pemerintahan di Amerika Serikat dan Israel, tidak ada yang serius mengupayakan pembentukan Negara Palestina merdeka dan berdaulat. Presiden Joe Biden sudah menghuni Gedung Putih hampir setengah tahun belum mengambil terobosan. Perdana Menteri Naftali Bennett baru bulan lalu menggantikan Benjamin Netanyahu, lebih tertarik mempertahankan status quo.
Sampai sekarang pemerintahan Biden tidak membatalkan deklarasi unilateral Amerika disampaikan pendahulunya, Presiden Donald Trump, pada awal Desember 2017, yakni pengakuan Yerusalem secara keseluruhan (bagian barat dikuasai sejak 1948 dan sebelah timur dicaplok sedari 1967) sebagai ibu kota Israel.
Biden juga tidak memindahkan kembali Kedutaan Besar Amerika untuk Israel dari Yerusalem ke Ibu Kota Tel Aviv setelah dipindahkan Trump pada hari peringatan berdirinya negara Zionis itu tiga tahun lalu.
Biden tidak pula membatalkan pengakuan negaranya, disampaikan pemerintahan Trump tahun lalu, soal permukiman Yahudi di Tepi Barat (berjumlah 250 dan dihuni lebih dari 600 ribu orang) sebagai wilayah kedaulatan Israel.
Pemerintahan Naftali Bennet juga sama. Dalam pertemuan dengan para menteri luar negeri Eropa pekan ini, Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid menekankan solusi dua negara mustahil dikerjakan apalagi diwujudkan saat ini. Artinya, negara Bintang Daud itu meyakini Palestina cuma negara khayalan.
Bennet masih mempertahankan kebijakan Yahudisasi di Yerusalem Timur sebagai bagian untuk menciptakan fakta di lapangan bahwa orang Yahudi lebih dominan daripada Palestina. Kenyataan itu untuk memperkuat klaim mereka sampai melalui Hukum Dasar Yerusalem, disahkan Knesset (parlemen Israel) pada 1980: Yerusalem adalah ibu kota abadi Israel dan tidak dapat dibagi dua.
Proyek Yahudisasi ini meliputi penggusuran rumah sekaligus pengusiran paksa warga Palestina dari sejumlah kawasan di Yerusalem Timur, seperti Silwan, Syekh Jarrah, dan Isawiyah. Program ini juga mencabut status izin tinggal tetap bagi orang-orang Palestina tinggal di Yerusalem Timur sekarang ini bekerja atau sekolah di luar negeri. Orang Palestina dianggap sebagai teroris juga bisa dideportasi dari Yerusalem Timur, biasanya ke Tepi Barat atau Yordania.
Provokasi di Kompleks Masjid al-Aqsa merupakan kiblat pertama umat Islam terus berlangsung. Saban hari, polisi Israel mengawal lusinan orang Yahudi berkeliling sekaligus berdoa di dalam al-Aqsa, sebuah pelanggaran atas kesepakatan dengan Yordania dalam perjanjian damai pada 1994.
Bennet intinya lebih mempertahankan status quo: Jalur Gaza dikuasai Hamas tetap terpisah dari Tepi Barat yang dikontrol Fatah. Dia lebih tertarik memajukan perekonomian, terutama di Gaza untuk mencegah ledakan sosial yang tentunya akan berdampak luas hingga mengancam warga dan kepentingan Israel.
Bennet berambisi menciptakan sejarah, yakni membebaskan empat warga Israel--jenazah dua serdadu tewas dalam perang Gaza 2014, yakni Hadar Goldin dan Shaul Oron, serta Avera Mengitsu dan Hisyam as-Sayyid, bakal ditukar dengan 1.111 tahanan Palestina yang diminta Hamas.
Akhirnya, Biden dan Bennet seolah mengirim pesan: selamat tinggal Palestina. Negara yang kalian impikan hanya khayalan belaka.