Vonis Edhy, Cermin Perilaku Korupsi Makin Ditoleransi?
Kalangan LSM antikorupsi menilai sedang terjadi tren vonis ringan terhadap koruptor.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Rizkyan Adiyudha
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menilai, tindakan korupsi para pejabat saat ini makin ditoleransi. Pernyataannya itu menanggapi vonis terhadap Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Diketahui pada Kamis (15/7), Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara terhadap Edhy Prabowo. Selain pidana badan, Edhy juga dijatuhi denda sejumlah Rp 400 juta subsider enam bulan kurungan
Dalam putusannya, Edhy dinilai terbukti menerima suap Rp 25,7 miliar terkait izin ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur. Suap diberikan guna mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor BBL kepada PT DPPP dan para eksportir BBL lainnya.
Edhy juga harus membayar uang pengganti Rp 9.687.447.219 dan uang sejumlah 77 ribu dolar AS dengan memperhitungkan uang yang telah dikembalikan. Apabila uang pengganti tidak dibayar setelah satu bulan putusan berkekuatan hukum tetap maka harta bendanya disita untuk menutupi uang pengganti.
Apabila aset Edhy tidak cukup maka Edhy harus dihukum pidana badan selama 2 tahun. Edhy juga dijatuhi hukuman berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun sejak selesai mejalani masa pidana.
"Memang menurut saya, Indonesia sedang mengalami kemunduran pemberantasan korupsi dan dominasi perilaku koruptif sedang tinggi-tingginya yang tercermin dari rendahnya sanksi pidana yang diberikan kepada koruptor, " ujar Feri kepada Republika, Jumat (16/7).
"Tren ini akan terus terjadi ketika semangat pemerintahaan yang toleran terhadap koruptor. Buktinya sanksi mereka sebanding dengan sanksi pencurian kecil," tambahnya.
Ia menekankan, pada era Presiden Joko Widodo "niat" memberantas korupsi sadah dimusnahkan. "Akibatnya timbul nilai-nilai yang permisif dalam melindungi koruptor dengan berbagai cara," kata dia.
Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII), Allan Fatchan Gani memandang, saat ini kecenderungan tren vonis ringan akan menjadi 'budaya' dan berpotensi dibudayakan ditengah krisis spirit pemberantasan korupsi.
Menurutnya, tren tersebut sangat jelas mencederai keadilan.
"Terhadap tuntutan dan vonis yang ringan, perlu diselidiki secara serius kemungkinan kemungkinannya," tegas Allan kepada Republika, Jumat.
Menurutnya, jika tuntutan yang rendah jadi persoalan, maka jaksa yang menuntut perlu ditelusuri rekam jejaknya, kapasitas serta integritasnya. Namun, jika soal putusan atau vonis, Komisi Yudisial (KY) perlu juga menelusuri rekam jejak, kapasitas, dan integritas sang hakim.
"Dari situ akan ditemukan benang merahnya bagaimana komitmen pemberantasan korupsi para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum dan keadilan," tegasnya.
In Picture: Mantan Menteri KKP Edhy Prabowo Divonis 5 Tahun Penjara
Adapun, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai putusan 5 tahun penjara untuk Edhy Prabowo menggambarkan kepada publik betapa lembaga kekuasaan kehakiman dan penegak hukum.
"Benar-benar tidak lagi bisa diandalkan untuk memperjuangkan keadilan. Sebab, baik KPK maupun majelis hakim, sama-sama memiliki keinginan untuk memperingan hukuman koruptor. Sebagaimana diketahui, hukuman 5 tahun penjara itu serupa dengan tuntutan jaksa penuntut umum KPK," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana.
Patut untuk diingat, kata Kurnia, saat melakukan praktik korupsi, Edhy sedang mengemban status sebagai pejabat publik. Sehingga, berdasarkan Pasal 52 KUHP seharusnya dikenakan pemberatan hukuman.
"Tidak cukup dis itu, kejahatan tersebut juga dilakukan di tengah masyarakat yang sedang berjuang menghadapi pandemi Covid-19, " tegas Kurnia.
Jadi, bagi ICW, Edhy sangat pantas untuk diganjar vonis maksimal, setidaknya 20 tahun penjara. Pencabutan hak politik itu pun terasa amat ringan, mestinya pidana tambahan itu dapat diperberat hingga 5 tahun lamanya.
"Logika putusan itu jelas keliru, sebab, hakim membenarkan penerimaan sebesar Rp 24,6 miliar ditambah 77 ribu dollar AS, namun kenapa justru vonisnya sangat ringan? Pasal 12 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan jerat pidana penjara minimal kepada koruptor adalah 4 tahun penjara, " tegasnya lagi.
Oleh karena itu, vonis Edhy hanya satu tahun di atas minimal hukuman berdasarkan ketentuan tersebut. Putusan itu dapat dianggap benar jika Edhy hanya menerima puluhan juta rupiah dari para pemberi suap dan menyandang status sebagai justice collaborator, namun ini berbeda, yang ia korup mencapai puluhan miliar rupiah dan hingga sekarang tidak kunjung mengakui perbuatannya.
Ganjaran hukuman 5 tahun penjara itu, sambung Kurnia, kian menambah suram lembaga peradilan dalam menyidangkan perkara korupsi. Pemantauan ICW pada 2020 sudah menggambarkan secara jelas bahwa majelis hakim kerap kali tidak menunjukkan keberpihakan pada sektor pemberantasan korupsi.
"Bayangkan, rata-rata hukuman koruptor saja hanya 3 tahun 1 bulan penjara. Lantas, apa lagi yang diharapkan dari penegakan hukum yang terlanjur carut marut ini?, " ucapnya.
ICW, tambah Kurnia, juga mencurigai adanya pihak di balik tuntutan rendah tersebut.
"Di luar dari vonis tersebut, penting pula untuk menyoroti rendahnya tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK. Namun, kali ini yang menarik untuk ditelisik lebih lanjut adalah siapa pihak di balik tuntutan rendah tersebut? Apakah murni buah pemikiran jaksa penuntut umum atau justru atas keinginan Pimpinan KPK? ICW curiga Pimpinan KPK ada di balik rendahnya tuntutan terhadap Edhy Prabowo, " kata dia.
"Dalam waktu yang tak lama lagi, persidangan perkara lain, yakni Juliari P Batubara juga akan memasuki pembacaan surat tuntutan. ICW yakin, tuntutan Juliari pasti akan serupa, atau bahkan mungkin lebih rendah, dibandingkan dengan Edhy Prabowo," tegas Kurnia, menambahkan.
KPK mengapresiasi vonis yang diberikan terhadap terdakwa Edhy Prabowo. Vonis majelis hakim secara umum dinilai sesuai dengan tuntutan.
"Kami menghormati dan mengapresiasi putusan majelis hakim terhadap para terdakwa," kata Plt Juru Bicara KPK, Ipi Maryati Kuding di Jakarta, Jumat (16/7).
KPK menilai vonis yang diberikan kepada Edhy secara umum telah memenuhi seluruh isi analisis yuridis dalam tuntutan tim Jaksa Penunut Umum (JPU). Ipi mengatakan, KPK saat ini akan menunggu salinan putusan lengkap vonis terhadap politisi Gerindra tersebut.
Dia melanjutkan, tim JPU akan mempelajari pertimbangan majelis hakim. Selanjutnya tim akan membuat analisis dan rekomendasi kepada pimpinan lembaga antirasuah.
"Sebagaimana dinyatakan tim JPU KPK dalam sidang putusan, kami masih bersikap pikir-pikir terkait putusan tersebut," katanya.
Sementara, kuasa hukum Edhy Prabowo, Soesilo Aribowo, mengatakan, kliennya tidak tahu-menahu mengenai aliran uang sebanyak 77 ribu dolar AS. Ia pun merasa kecewa majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Edhy Prabowo menerima suap senilai 77 ribu dolar AS tersebut.
"Pertama sebenarnya kami sedih, kecewa juga karena, terutama terkait pasal yang diputuskan oleh majelis. Pertama hal yang paling esensi adalah mengenai penerimaan uang senilai 77 ribu dolar AS itu Pak Edhy sama sekali tidak tahu," kata Soesilo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (15/7).
Soesilo mengatakan, majelis hakim dalam pertimbangan menyatakan suap diterima oleh staf khusus Edhy Prabowo, yakni Safri.
"Kemudian sampainya ke Pak Edhy itu kapan? Melalui rekening apa? Berapa jumlahnya? Dari siapa Pak Edhy tidak tahu sama sekali," tegasnya.
Perihal uang Rp 24.625.587.250 yang berasal dari PT Aero Citra Kargo (ACK), menurut Soesilo juga tidak dijelaskan bagaimana sampai ke Edhy Prabowo.
"Kapan masuk ke Pak Edhy dan melalui siapa dan di mana? Itu pun tidak jelas sehingga hal-hal penerimaan uang itu sangat tidak cukup alasan," ujar Soesilo.
Dalam sidang putusan, salah satu anggota Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Suparman Nyompa, menilai Edhy Prabowo tidak mengetahui asal suap yang diterimanya. Pendapat Suparman ini berbeda dengan anggota majelis hakim lainnya.
"Bahwa dalam persidangan tidak ada bukti dan tidak ada fakta jika terdakwa Edhy Prabowo minta uang atau memerintahkan kepada tim uji tuntas atau due dilligence atau memperoleh hadiah dari Suharjito yang meminta dan menerima uang dari semua kita sejumlah 77 ribu dolar AS adalah Safri selaku wakil ketua tim uji tuntas, namun tidak ada bukti Safri melakukan perbuatan tersebut atas perintah atau pun diketahui oleh terdakwa," kata Suparman, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (15/7).