Terdampak PPKM Darurat, Omset Pedagang Beras Turun
Pembelian beras lebih banyak dilakukan oleh konsumen rumah tangga.
REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat berdampak pada aktivitas perdagangan di Kabupaten Indramayu. Omset pedagang menjadi turun akibat sepinya pembeli.
Hal itu salah satunya dialami seorang pedagang beras di Pasar Mambo Indramayu, H Jana. Dia mengatakan, dalam kondisi normal, penjualan berasnya bisa mencapai tujuh kuintal per hari.
Namun selama PPKM Darurat, penjualan berasnya turun hanya di kisaran 3,5 kuintal per hari. "Ya turun 50 persen karena sepi," kata Jana, Selasa (20/7).
Jana menjelaskan, para konsumennya selama ini sebagian besar merupakan pemilik warung makan/penjual nasi. Namun selama PPKM Darurat, banyak di antara mereka yang memilih tidak berjualan.
Akibatnya, pembelian beras di kios beras milik Jana lebih banyak dilakukan oleh konsumen rumah tangga. Mereka hanya membeli beras untuk kebutuhan keluarga sehari-hari.
Salah seorang pedagang nasi di Kecamatan Indramayu, Didi, mengaku, selama PPKM Darurat memilih untuk tidak berjualan. Pasalnya, meski diperbolehkan tetap beroperasi, namun jam buka usahanya hanya diperbolehkan sampai pukul 20.00 WIB.
Padahal selama ini, Didi baru mulai berjualan jelang Magrib. Jika harus tutup kembali pada pukul 20.00 WIB, maka masakan yang dijualnya masih tersisa banyak.
Apalagi, tempat jualannya di salah satu ruas jalan protokol yang dilakukan penyekatan. Akibatnya, ruas jalan tersebut menjadi sangat sepi.
"Jadi lebih baik tidak berjualan dulu daripada rugi," tutur Didi.
Sementara itu, berdasarkan data dari Sigap (Sistem Informasi Pengawasan PPKM Darurat Jawa-Bali) yang disebarkan oleh Diskominfo Kabupaten Indramayu, Kabupaten Indramayu menempati urutan ketiga kabupaten/kota di Indonesia yang mengalami penurunan mobilitas terbesar selama PPKM Darurat. Yakni, mencapai 22,50 persen.
Untuk daerah di urutan kesatu dan kedua yang mengalami penurunan mobilitas terbesar selama PPKM Darurat adalah Salatiga dan Blitar, dengan nilai masing-masing 23,84 persen dan 23,48 persen.