Harga Jagung Diperkirakan Mulai Turun Oktober 2021

Selain produksi belum optimal, PPKM pun berdampak pada kenaikan biaya logistik jagung

ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
Petani mengupas jagung untuk dikeringkan (ilustrasi). Harga jagung diprediksi mulai turun pada Oktober.
Rep: Dedy Darmawan Nasution Red: Fuji Pratiwi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga jagung yang kini tengah naik diperkirakan mulai mereda pada Oktober mendatang seiring masuknya musim panen raya di dalam negeri. Meski demikian, penurunan harga jagung ketika panen akan sangat bergantung pada faktor cuaca yang dihadapi menjelang akhir tahun.

Harga jagung pipil kering kadar air 15 persen di tingkat petani saat ini berkisar Rp 5.000 per kg, jauh di atas harga acuan pemerintah Rp 3.150 per kg. Adapun di tingkat konsumen atau pengguna jagung untuk pakan ternak, harga jagung sudah tembus di atas Rp 5.500 per kg. Hal itu berdampak pada tingginya harga pakan ternak unggas.

Ketua Dewan Jagung Nasional, Tony J Kristianto, mengatakan, masalah jagung, terutama soal harga yang mahal hingga akhir tahun ini akibat masalah hasil produksi yang kurang optimal. Itu disebabkan musim hujan lebat yang panjang sehingga hasil penanaman kurang berhasil.

"Itu sebabnya terjadi kekurangan produksi dan tampaknya ini sudah diprediksi oleh pabrik-pabrik pakan ternak besar sehingga selama ini mereka terus memborong jagung," kata Tony kepada Republika.co.id, Ahad (25/7).

Aksi memborong jagung itu demi mengamankan kebutuhan jagung mereka hingga musim panen raya kedua pada Oktober. Sementara, bagi perusahaan perunggasan terintegrasi kebanyakan sudah memiliki kontrak produksi jagung tersendiri demi menjaga keberlanjutan ketersediaan bahan baku pakan.

Situasi saat ini berdampak negatif pada peternak-peternak unggas mandiri. Mereka juga membutuhkan jagung untuk kebutuhan pakan tapi tidak memiliki daya tawar untuk bisa mengamankan pasokan jagung.

"Peternak mandiri yang kalang kabut. Selain dipukul harga jagung dan pakan yang tinggi, harga ayam hasil produksinya juga tidak naik-naik karena konsumsi sedang melemah," ujar dia.

Selain karena produksi yang belum optimal, Tony menilai, kebijakan PPKM turut berdampak pada kenaikan biaya logistik jagung antar daerah. Tanpa disadari mobilitas yang diperketat meningkatkan biaya angkut dan berdampak pada harga jual jagung.

Adapun opsi impor jagung maupun produk substitusi seperti gandum, menurut Tony belum menjadi opsi ideal. Sebab, situasi harga di level global masih cukup tinggi. Di satu sisi, industri pakan ternak maupun peternak juga harus mengubah formula pakan yang dapat berdampak pada kualitas pakan ternak.

Dengan kata lain, Tony menilai, tidak ada pilihan untuk saat ini selain menunggu harapan penurunan harga jagung pada Oktober mendatang. Ia pun memprediksi, produksi jagung pipilan kering pada tahun ini kemungkinan sama seperti tahun lalu yakni di kisaran 11-12 juta ton.

"Situasinya akan seperti ini setidaknya sampai Oktober. Asalkan pada Juli, Agustus, September itu penanamannya baik, hujan cukup tapi tidak berlebihan," ujar dia. 

Baca Juga


 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler