Tuntutan 11 Tahun untuk Juliari yang Dinilai Berbelit-belit

Jaksa menilai Juliari terbukti menerima Rp 32,48 miliar suap pengadaan bansos Covid.

Republika/Thoudy Badai
Terdakwa mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah

Jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Majelis Hakim untuk menjatuhkan hukuman 11 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap eks Menteri Sosial, Juliari Peter Batubara. Jaksa meyakini Juliari menerima suap terkait pengadaan bantuan sosial penanganan Covid-19 di wilayah Jabodetabek.

Baca Juga



"Menuntut supaya majelis hakim pengadilan tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili memutuskan, menyatakan terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi," kata jaksa Ikhsan Fernandi saat membacakan amar tuntutan, Rabu (28/7).

Jaksa juga menuntut hakim agar Juliari dijatuhi hukuman berupa uang pengganti sejumlah Rp 14,5 miliar. Apabila Juliari tidak membayar uang pengganti dalam kurun 1 bulan setelah putusan pengadilan maka harta bendanya akan disita, dan bila tidak mencukupi, Juliari akan diganjar pidana badan selama 2 tahun.

Jaksa juga menuntut agar hak politik Juliari dicabut selama empat tahun setelah selesai menjalani pidana pokok. Jaksa menilai Juliari terbukti menerima Rp 32,48 miliar dalam kasus suap pengadaan bantuan sosial Covid-19.

Uang suap itu diterima dari sejumlah pihak. Sejumlah Rp 1,28 miliar diterima dari Harry van Sidabukke, Rp 1,95 miliar dari Ardian Iskandar M, dan Rp 29,25 miliar dari beberapa vendor bansos Covid-19 lainnya.

Dalam melayangkan tuntutan jaksa mempertimbangkan sejumlah hal.
Untuk hal yang memberatkan, perbuatan Juliari dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Jaksa menilai Juliari berbelit-belit dalam memberikan keterangan dan tidak mengakui perbuatannya.

"Perbuatan terdakwa dilakukan pada saat kondisi darurat pandemi Covid-19," kata jaksa.

Sementara untuk hal yang meringankan, jaksa menilai Juliari belum pernah dihukum.

Atas perbuatannya Juliari dinilai melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Soal Juliari yang berbelit-beli memberikan keterangan, juga pernah diutarakan oleh majelis hakim. Pada persidangan 9 Juli 2021, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor mengingatkan Juliari jujur dalam memberikan keterangan di persidangan.

Teguran diberikan lantaran Juliari yang dihadirkan sebagai saksi perkara korupsi Bansos untuk terdakwa eks pejabat Kemensos, Adhi Wahyono dan Matheus Djoko, kerap menjawab tidak tahu dan tidak pernah saat ditanya penasihat hukum dua terdakwa. Mulai dari pungutan fee, penunjukkan vendor, sampai fee lawyer.

Awalnya, Juliari dicecar oleh kuasa hukum Adhi dan Joko perihal adanya kutipan fee bantuan sosial Covid-19. Dalam kesaksiannya, Juliari lebih sering menjawab tidak tahu dan tidak pernah.

"Apakah saudara pernah tahu bahwa ada pungutan fee 10 ribu ataupun operasional yang harus dibayarkan vendor kepada MJS atau AW?," tanya kuasa hukum dua terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (9/7).

"Saya baru tahu ada kasus ini, sebelumnya tidak pernah pak," jawab Juliari.

Saat ditegaskan kembali mengenai adanya laporan pungutan, Juliari mengaku tidak pernah mendapatkan laporan. Juliari menjawab tidak pernah memberikan arahan pada Adi maupun Matheus Joko untuk memungut biaya fee dari penyedia bansos.

"Enggak pak," jawab Juliari.

Politisi PDIP itu pun kembali mengaku tidak menerima uang dari perusahaan yang menjadi vendor bansos. "Tidak pernah," katanya.

Mendengar pernyataan Juliari, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor langsung mengingatkan untuk jujur memberikan keterangan di persidangan.

"Banyak yang tidak sesuai dengan keterangan saksi. Saya minta saudara jujur, saya mohon saudara jujur. Dari klarifikasi yang dilakukan dalam sidang ini banyak yang tidak sesuai keterangan saksi," tegas Ketua Majelis Hakim Muhammad Damis.

"Saudara jangan menyulitkan saudara sendiri. Ini dua orang terdakwa bisa jadi saksi masalah yang baru terhadap saudara. Jangan anggap apa yang saudara hadapi saat ini tidak akan muncul persoalan baru kalau saudara tidak jujur," tambah Hakim Damis mengingatkan.

"Baik yang mulia," jawab Juliari singkat.





Sebelum sidang pembacaan tuntutan, pengacara Juliari, Maqdir Ismail mengharapkan tuntutan yang adil dari tim JPU KPK.

"Tentu dengan harapan Pak Juliari Peter Batubara akan dituntut secara adil," ujar Maqdir dalam keterangannya, Rabu (28/7).

Maqdir menegaskan, selama proses persidangan, dakwaan jaksa terkait penerimaan Rp 14,7 miliar terhadap kliennya terbantahkan. Disebutkan, uang Rp 14,7 miliar yang diterima Juliari itu melalui Matheus Joko Santoso selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) Kemensos dan Adi Wahyono selaku kuasa pengguna anggaran.

Menurutnya, dalam persidangan perkara ini, mantan Staf Ahli Juliari, Kukuh Ary Wibowo; Seretaris Pribadi Juliari, Selvy Nurbaety; dan Eko Budi Santoso selaku ajudan Juliari yang sempat dihadirkan sebagai saksi menyatakan tidak pernah meminta atau menerima uang terkait bansos.

"Ketiga saksi tersebut secara tegas dan terang membantah bahwa tidak ada uang yang mereka terima untuk kepentingan terdakwa Juliari Peter Batubara dari Matheus Joko Santoso melalui Adi Wahyono," tegas Maqdir.

In Picture: Sidang Korupsi Bantuan Bansos Juliari Batubara

Terdakwa kasus korupsi Bantuan Sosial (Bansos) COVID-19 yang juga mantan Menteri Sosial Juliari Batubara menyimak penjelasan penasehat hukumnya usai sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu (21/4/2021). Sidang beragendakan pembacaan dakwaan terkait kasus yang juga menyeret dua terdakwa lainnya, mantan pejabat pembuat komitmen di Kementerian Sosial Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso. - (ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA )

Indonesia Corruption Watch (ICW) sebelumnya mendesak KPK menuntut maksimal, yakni seumur hidup penjara, terhadap Juliari. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menyebut ada empat alasan sebelum tiba pada  desakan tersebut. Pertama, saat melakukan kejahatan, Juliari mengemban jabatan sebagai pejabat publik.

"Maka, berdasarkan Pasal 52 KUHP, pemberatan hukuman mesti diakomodir oleh jaksa penuntut umum," tegas Kurnia dalam keterangannya, Selasa (27/7).

Kedua, Juliari melakukan praktik suap-menyuap di tengah kondisi wabah Covid-19 sedang melanda Indonesia. Praktik culas ini tentu tidak bisa dimaafkan, dapat dibayangkan, kala itu, empat hari sebelum tangkap tangan KPK – 1 Desember 2020 – setidaknya 543 ribu orang telah terinfeksi Covid-19 dan 17 ribu nyawa melayang.

Tidak hanya itu, Indonesia pun resmi resesi pada awal November. Sebagai Menteri Sosial, tentu Juliari memahami situasi tersebut. Ketiga, saat proses persidangan berlangsung, Juliari belum pernah sekali pun mengakui perbuatannya. Padahal, pengadilan telah memutus bersalah pihak penyuap Juliari, salah satunya Ardian Iskandar.

Keempat, korupsi yang dilakukan Juliari langsung berdampak pada masyarakat. Mulai dari tidak mendapatkan bansos, kualitas bahan makanan buruk, hingga kuantitas penerimaan berbeda dengan masyarakat lain.

"Berangkat dari poin-poin di atas, jika KPK menuntut rendah Juliari, maka dugaan publik selama ini terkonfirmasi, yakni KPK ingin melindungi pelaku korupsi bansos," ujar Kurnia.

Berdasarkan catatan ICW, proses penanganan korupsi bansos di KPK dapat dikategorikan sangat buruk. Betapa tidak, indikasi KPK akan melokalisir perkara agar berhenti pada Juliari sangat kuat.

Kemudian proses penggeledahan KPK seringkali tidak menghasilkan temuan apapun. Dugaannya mengerutu pada dua hal, yaitu: kebocoran informasi di internal KPK atau penggeledahan yang tak kunjung dilakukan, padahal izin sudah diberikan oleh Dewan Pengawas.

ICW juga mensinyalir Pimpinan KPK maupun Dewan Pengawas merasa terganggu dengan proses hukum perkara bansos. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya Tes Wawasan Kebangsaan yang memberhentikan dua Penyidik perkara bansos (Andre Dedy Nainggolan/Kasatgas Penyidikan dan M Praswad Nugraha) dan putusan etik Dewan Pengawas terhadap penyidik.

Pada Februari lalu, Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej menilai, mantan menteri KKP Edhy Prabowo serta mantan mensos Juliari Peter Batubara, pantas dituntut mati. Ada dua landasan alasan kedua tersangka mantan menteri itu pantas mendapatkan hukuman mati.

Kedua bekas menteri itu telah ditetapkan sebagai tersangka terkait perkara suap oleh KPK. "Bagi saya mereka layak dituntut pasal 2 ayat 2 Tipikor yang mana pemberatannya sampai pidana mati," kata Edward Omar Sharif Hiariej saat menjadi pembicara dalam sebuah seminar yang disiarkan akun YouTube Kanal Pengetahuan FH UGM, Selasa (16/2).

Adapun Ketua KPK Komjen Polisi Firli Bahuri juga pernah menyatakan, Menteri Sosial Juliari Batubara bisa diancam dengan hukuman mati. Ancaman hukuman mati bisa diberikan kepada Juliari jika terbukti melanggar Pasal 2 UU 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Ya, kita paham bahwa di dalam ketentuan UU Nomor 31 tahun 1999 pasal 2 yaitu barang siapa yang telah melakukan perbuatan dengan sengaja memperkaya diri atau orang lain, melawan hukum yang menyebabkan kerugian keuangan negara di ayat 2 memang ada ancaman hukuman mati," ujar Firli di Gedung KPK, Ahad (6/12) dini hari, saat pengumuman status tersangka Juliari.

Namun kini, Juliari telah dituntut 11 tahun penjara oleh KPK. Sementara, Edhy Prabowo pada 15 Juli lalu telah menjalani sidang vonis dan dijatuhi hukuman 5 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta.

 

Edhy dan Juliari Layak Dituntut Mati - (Infografis Republika.co.id)

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler