Ilmuwan Buat Kecerdasan Buatan untuk Deteksi Awal Covid-19
Data dikumpulkan melalui aplikasi smartphone ZOE COVID Symptom Study.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah ahli mengembangkan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk memprediksi gejala awal infeksi virus corona jenis baru (COVID-19). Penelitian dilakukan oleh para ilmuwan di Kings College London, Inggris.
Sebelumnya, studi memperkirakan apakah seseorang akan mengembangkan COVID-19 menggunakan gejala dari puncak infeksi virus. Ini bisa menjadi kurang relevan dari waktu ke waktu, sebagai contoh demam yang bisa terjadi di fase selanjutnya.
Studi terbaru mengungkapkan gejala infeksi yang dapat digunakan untuk mendeteksi lebih awal COVID-19. Penelitian menggunakan data yang dikumpulkan melalui aplikasi smartphone ZOE COVID Symptom Study.
Dilansir Forbes, setiap pengguna aplikasi mencatat gejala yang dialami selama tiga hari pertama dan hasil tes PCR COVID-19 yang dilakukan. Selain itu, mereka juga menyertakan informasi pribadì berupa usia dan jenis kelamin.
Para peneliti menggunakan data yang dilaporkan dari aplikasi untuk menilai tiga model untuk memprediksi COVID-19 sebelumnya, yang melibatkan penggunaan satu set data untuk melatih model tertentu sebelum kinerjanya diuji pada set lain.
Set pelatihan mencakup hampir 183.000 orang yang melaporkan gejala dari 16 Oktober hingga 30 November 2020. Sementara, set data uji terdiri dari lebih dari 15.000 peserta dengan data antara 16 Oktober dan 30 November.
Ketiga model tersebut terdiri dari metode statistik yang disebut regresi logis, algoritma dari badan kesehatan Inggris National Health Service (NHS) , dan pendekatan Kecerdasan Buatan (AI) yang dikenal sebagai 'proses Gaussian hierarkis'. Dari ketiga model prediksi tersebut, pendekatan AI memiliki performa yang paling baik, sehingga kemudian digunakan untuk mengidentifikasi pola pada data.
Model prediksi AI cukup sensitif untuk menemukan gejala mana yang paling relevan di berbagai kelompok orang. Subkelompok adalah pekerjaan mulai dari profesional kesehatan versus non-kesehatan, kelompok usia (16-39, 40-59, 60-79, dan 80 tahun ke atas), jenis kelamin (laki-laki atau perempuan), Indeks Massa Tubuh (BMI sebagai kurus, normal, kelebihan berat badan/obesitas), dan beberapa kondisi kesehatan lainnya.
Hasil yang ditunjukkan oleh model AI diantaranya adalah kehilangan penciuman menjadi gejala awal paling relevan diantara petugas kesehatan dan non-kesehatan. Kedua kelompok dalam model melaporkan mengalami gejala seperti nyeri dada dan batuk terus menerus.
Gejala bervariasi diantara kelompok usia. Kehilangan penciuman kurang relevan dengan orang yang berusia di atas 60 tahun dan ini tampak tidak relevan bagi mereka yang berusia di atas 80 tahun, menyoroti usia sebagai faktor kunci dalam deteksi dini COVID-19.
Tidak ada perbedaan besar antara jenis kelamin untuk gejala yang dilaporkan, tetapi sesak napas, kelelahan dan menggigil adalah tanda yang lebih relevan untuk laki-laki dibanding perempuan. Selain itu, tak ada pola khusus yang ditemukan pada sub-kelompok BMI.
Dalam hal tentang kondisi kesehatan, penyakit jantung paling relevan untuk memprediksi COVID-19. Karena penelitian dilakukan pada 2020, hasilnya mungkin hanya berlaku untuk strain asli virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) dan varian Alpha, yang merupakan dua varian dengan prevalensi tertinggi di Inggris pada tahun lalu.
Lima gejala teratas memberikan sumber yang berguna jika ingin mengetahui tanda mana yang umum untuk varian paling umum yang beredar dalam suatu populasi. Saat varian baru muncul di masa mendatang, Anda dapat meneruskan beberapa informasi pribadi seperti usia ke prediksi AI sehingga model ini menunjukkan gejala awal yang paling relevan.
Jika Anda mengembangkan gejala tersebut, lakukan tes COVID-19 dan mungkin juga diri Anda sendiri, dengan isolasi sebelum menularkan virus ke orang lain. Saat studi baru menyimpulkan, langkah-langkah tersebut akan membantu mengurangi stres pada layanan kesehatan masyarakat.
“Deteksi dini individu yang terinfeksi SARS-CoV-2 sangat penting untuk menahan penyebaran pandemi COVID-19 dan mengalokasikan sumber daya medis secara efisien” catat studi tersebut.
Studi diterbitkan dalam jurnal The Lancet Digital Health.