Benarkah Bulu Hidung Lindungi Manusia dari Infeksi Virus?

Bulu hidung bertugas menyaring udara yang dihirup manusia.

ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Tes PCR Covid-19. Bulu hidung selama ini dikenal sebagai penyaring udara yang dihirup. Meski begitu, pakar menyebut, virus terlalu kecil ukurannya untuk tersaring oleh bulu hidung.
Rep: Idealisa Masyrafina Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gagasan bahwa bulu hidung manusia (vibrissae) mungkin menawarkan perlindungan terhadap kuman menular sudah muncul lebih dari satu abad. Pemikiran itu muncul karena bulu hidung berfungsi menyaring udara yang manusia hirup.

Dari situ, orang kemudian berpikir bahwa bulu hidung dapat melindungi dari infeksi oleh virus, bakteri, dan patogen lainnya di udara. Benarkah bulu hidung ibarat perisai?

Pada tahun 1896, sepasang dokter Inggris, menulis dalam jurnal medis bergengsi The Lancet bahwa bagian dalam dari sebagian besar rongga hidung normal adalah aseptik sempurna (steril). Di sisi lain, vestibulum nares (lubang hidung), dilapisi oleh vibrissae.

Semua kotoran yang terbentuk di sana umumnya dipenuhi bakteri.   Kedua fakta ini tampaknya menunjukkan bahwa bulu hidung bertindak sebagai filter dan bahwa sejumlah besar mikroba menemui ajalnya di "rimba" bulu hidung yang lembap yang tumbuh di bagian depan dari lubang hidung.

Baca Juga



Kesimpulan dokter Inggris mungkin terdengar logis, tetapi pada saat itu tidak ada yang benar-benar mempelajari apakah memotong bulu hidung dapat memudahkan kuman untuk menembus lebih dalam ke saluran pernapasan. Baru pada tahun 2011 kelebatan rambut hidung dipelajari secara ketat sebagai kemungkinan korelasi penyakit.

Dalam sebuah penelitian terhadap 233 pasien yang diterbitkan dalam Arsip Internasional Alergi dan Imunologi, tim peneliti dari Turki menemukan bahwa orang dengan bulu hidung yang lebih lebat cenderung tidak menderita asma. Para peneliti menghubungkan temuan ini dengan fungsi penyaringan rambut hidung.

Pengamatan mereka menarik, tetapi itu adalah penelitian observasional yang tidak dapat membuktikan sebab dan akibat, dan asma bukanlah infeksi. Para peneliti juga tidak melakukan studi lanjutan untuk menilai bagaimana memangkas bulu hidung dapat mempengaruhi risiko asma atau infeksi.

Butuh waktu hingga tahun 2015 bagi para dokter di Mayo Clinic AS untuk melakukan studi pertama. Sejauh ini, itulah penelitian terbaru untuk melihat efek pemangkasan bulu hidung.

Para peneliti mengukur aliran udara hidung pada 30 pasien sebelum dan sesudah memotong bulu hidung mereka. Dari percobaan itu mereka menemukan bahwa pemangkasan bulu hidung menyebabkan perbaikan dalam ukuran subjektif dan objektif aliran udara hidung.  

Peningkatan terbesar terjadi pada mereka yang memiliki bulu hidung paling banyak. Hasilnya dipublikasikan di American Journal of Rhinology and Allergy.

Sekali lagi, kesimpulan yang menarik. Akan tetapi, apakah aliran udara hidung yang lebih baik berkorelasi dengan risiko infeksi yang lebih tinggi?

Tidak ada penelitian yang membahas pertanyaan ini secara langsung. Tetapi Dr. David Stoddard, penulis utama studi Mayo, mencatat debu putih yang terperangkap di bulu hidung seseorang bisa mengungkap, misalnya, seseorang habis bekerja dengan papan partisi dinding.  

"Tapi itu adalah partikel yang lebih besar yang terjebak di bulu hidung. Virus jauh lebih kecil. Virus sangat kecil sehingga mungkin akan melewati hidung dengan cara apa pun. Saya tidak berpikir bahwa mencukur bulu hidung seseorang akan meningkatkan risiko infeksi pernapasan," jelasnya, dikutip dari Indian Express, Sabtu (7/8).

Berdasarkan penelitian terbatas pada bulu hidung, tidak ada bukti bahwa merapikan atau mencabut bulu hidung meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan. Setidaknya, satu dokter yang telah bekerja di lapangan berspekulasi bahwa ini kemungkinan tidak memengaruhi risiko infeksi.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler