'Perlu Penyebaran Informasi yang Benar untuk Cegah Covid-19'
Imam B Prasojo menyampaikan pandemi disinyalir telah menyebabkan dislokasi sosial.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari 1,5 tahun membuat hampir seluruh masyarakat Indonesia jenuh. Bahkan tidak sedikit juga yang mengalami stres. Di tengah kondisi ini, masyarakat diminta tetap bisa menjaga tatanan sosial agar dapat menjalani kehidupan.
Di sisi lain, tranformasi digital juga berpengaruh dalam kehidupan bersosial. Namun imbas akses keterbukaan informasi mengenai pandemi terbuka lebar, dikhawatirkan dapat memberikan celah misinformasi, disinformasi, dan hoaks.
Dewan Pakar Bidang Ekonomi Institute of Social Economic Digital (ISED), Karuniana Dianta Sebayang, mengatakan perlu penyebaran informasi yang benar tentang upaya pencegahan virus ini melalui media sosial. Misalnya membuat gerakan sosial yang dilakukan influencer kemudian disebarluaskan melalui media sosial.
"Kita telah didukung media sosial. Kenapa kegiatan pencegahan Covid-19 ini tidak viral pada media sosial? Sehingga gerakan sosial atau menyosialisasikan gerakan-gerakan prokes melalui influencer," katanya dalam webinar dengan tema 'Menjaga Kewarasan di Tengah Pandemi' pada Selasa (3/8) malam.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Pancasila (UP) yang juga dewan pakar ISED, Silverius Y Soeharso mengatakan, Indonesia beberapa tahun yang lalu dalam buku Headspin diprediksi sejumlah ahli bahwa Indonesia akan dilanda banjir bandang ujaran kebijakan.
Indonesia yang multikultural di era media sosial memiliki potensi kerawanan nasional sehingga harus terus diwaspadai terutama di era pandemi. "Para psikolog dan sosiolog perlu menyusun growth mindset guna mereduksi nalar fixed mindset seperti denial dan menolak kenyataan. Peran influencer, kaum muda, pegiat media digital, artis dan lain-lain juga dirasa dapat membantu dalam penanganan Covid-19 guna mengurangi angka penularan Covid-19," katanya
Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Imam B Prasojo menyampaikan pandemi disinyalir telah menyebabkan dislokasi sosial. Dislokasi dalam arti sosial yaitu kondisi seseorang yang mengalami interkasi atipikal (tidak sinkron) yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu lama, sehingga dapat menimbulkan emosi negatif (depresi). Ketika dislokasi sosial terjadi secara luas dapat mengganggu kesehatan mental.
Lebih lanjut dikatakan, masih banyak masyarakat yang tidak disiplin semasa pandemi. Padahal, kata dia, protokol kesehatan sangat penting, sehingga vaksin menjadi harapan paling tidak dapat menjadikan double cover.
"Sehingga kita sekarang juga harus memperhatikan tenaga kesehatan, dokter-dokter karena nakes merupakan tulang punggung dalam penanganan Covid-19 ini. Program bangsa yang dilakukan untuk kita semua agar bisa selamat dan agar negara kita tidak dikucilkan karena negara kita merupakan negara episentrum Covid-19. Perlu sinergi dukungan banyak pihak seperti dukungan kalangan profesional seperti ahli gizi, telemedicine, konsultasi psikiater, dan pendamping kerohanian, serta dukungan komunitas," katanya.
Ketua Bidang Data & Sistem Informasi Tim Mitigasi PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Seno Purnomo menuturkan, Covid-19 adalah virus yang menjadikan manusia sebagai perantaranya. Manusia harus bisa menahan segala hal sebagai bentuk ikhtiar agar efektivitas dari vaksin.
Menjaga prokes dapat mengurangi penyebaran agar pandemi ini segera berakhir. Sehingga perlu dilakukan berbagai langkah misalnya meningkatkan imunitas, menurunkan paparan dengan cara usaha terbaik adalah membatasi kontak, menjaga kebersihan (rajin cuci tangan) dan tentunya dengan memutus kontak antara lain memakai masker dan sarung tangan. "Hindari melakukan self medication dengan mengandalkan berita yang sumbernya tidak jelas atau dasar pertimbangannya tidak sesuai kondisi," katanya.
Selain para pembicara di atas, webinar tersebut juga menghadirkan sejumlah narasumber yang kompeten antara lain Wakil Rektor III UIN Jakarta Arief Subhan, kemudian pendiri ISED, Sri Adiningsih dan Wirawan Jusuf.