RUU EBT, Pertimbangkan BUMN Wajib Beli Listrik EBT
Ada beberapa poin dalam RUU EBT yang masih memerlukan masukan publik.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pemerintah perlu memastikan wacana kewajiban pembelian listrik dari pembangkit energi terbarukan oleh badan usaha milik negara (BUMN) tidak menambah beban fiskal negara.
Hal tersebut tertuang dalam, Rancangan Undang-undang (RUU) Energi Baru Terbarukan. Untuk itu, pemerintah dan DPR diminta mempertimbangkan poin kewajiban pembelian listrik dari EBT dalam pembahasan RUU EBT
Berdasarkan rumusan RUU EBT terkini, masih terdapat poin kewajiban bagi badan usaha milik negara untuk membeli listrik dari energi terbarukan. Tak pelak, hal ini membebani PT PLN (Persero), keuangan negara hingga masyarakat.
Anggota Komisi VII DPR RI Andi Yuliani Paris meminta keseriusan pemerintah untuk membahas RUU EBT. Dengan begitu, sesuai dengan peta jalan, rancangan beleid ini dapat disahkan pada akhir Desember 2021. Hanya saja, lanjutnya, ada beberapa poin dalam RUU EBT yang masih memerlukan masukan publik.
"Ini yang kami ingin mendengar komentarnya. Ada tambahan di Pasal 40 disebutkan terdapat kewajiban BUMN terhadap pembelian listrik energi terbarukan. Kalau ada kewajiban, biasanya ada sanksi yang mengikuti," ujar Andi, Ahad (15/8).
Di sisi lain, pada poin berikutnya, dijelaskan bahwa pemerintah pusat dapat menugaskan badan usaha milik swasta yang memiliki wilayah usaha ketenagalistrikan untuk memberi tenaga listrik yang dihasilkan. Dalam ayat kedua terkandung kata dapat, bisa dimaknai berbeda. "Jadi berbeda, kalau BUMN harus membeli," tambahnya.
Akan tetapi, ia menilai kewajiban membeli listrik berasal dari energi terbarukan berpotensi justru akan menyebabkan kelebihan pasokan listrik dan membengkaknya biaya pokok penyediaan listrik (BPP) PLN. Karena harga beli listrik EBT lebih mahal dari rata-rata BPP PLN.
Sehingga ada risiko kinerja keuangan PLN bakal jeblok karena membeli listrik dengan harga yang lebih tinggi. "Soal subsidi harga, kita tahu untuk harga EBT belum dapat bersaing dengan harga energi lainnya." ucap Andi
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi ITS Prof. Mukhtasor menjelaskan, idealnya politik keekonomian yang tepat bagi Indonesia, ialah pembangunan dari atas ke bawah. Menurutnya, adanya kewajiban bagi BUMN membeli listrik dari pembangkit EBT, menimbulkan dua dampak, yakni risiko kelebihan pasokan listrik, dan risiko kenaikan biaya pokok produksi listrik.
Di sisi lain, persoalan lain ialah pada pasal 51 RUU EBT terkait kewajiban pemerintah membayar selisih pembelian dari pembangkit EBT, dalam bentuk kompensasi. "Maka APBN akan mendapatkan tekanan tambahan. Kalau APBN dalam kondisi kaya raya mungkin kita optimistis, tetapi kalau APBN sekarang, kan sedang terbeban untuk membiayai penanganan Covid-19," ujarnya.
Apabila anggaran negara terbatas, maka ada risiko pemerintah tidak dapat membayar kompensasi. Dengan begitu, langsung berdampak pada potensi kenaikan harga listrik yang ujung-ujungnya akan membebani masyarakat."Maka kalau perekonomian akan tertekan, artinya perkonomian akan terganggu," tambahnya.