Empat Alasan Tentara Afghanistan Kalah Cepat dari Taliban

Taliban menguasai ibu kota Kabul dan membuat Presiden Ghani lari.

AP/Zabi Karimi
Taliban berhasil menguasai Istana Kepresidenan Afghanistan di Kabul, Ahad (15/8).
Rep: Rizky Jaramaya Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Tentara Afghanistan dibuat tak berdaya oleh Taliban. Sejak Jumat (13/8) Taliban telah menguasai benteng kendali pemerintah, dan merebut sekitar seperempat dari 34 ibu kota provinsi Afghanistan.

Pada Ahad (15/8), Taliban bahkan telah menguasai ibu kota Kabul. Penarikan pasukan Amerika Serikat (AS) dari Afghanistan membuat pasukan keamanan Afghanistan kalang kabut dalam menghadapi Taliban.

Pergerakan Taliban merebut wilayah strategis Afghanistan, telah menimbulkan pertanyaan sejauh mana kemampuan tempur pasukan keamanan Afghanistan. Berikut adalah beberapa faktor pasukan Afghanistan kalah cepat dari Taliban

Baca Juga



1. Tentara 'Hantu'

Di atas kertas, Taliban seharusnya bukan tandingan Pasukan Pertahanan dan Keamanan Nasional Afghanistan yang dikenal sebagai ANDSF.  Menurut laporan terbaru dari Inspektur Jenderal Khusus untuk Rekonstruksi Afghanistan (SIGAR), ANDSF memiliki 300.699 personel keamanan, termasuk tentara, polisi, dan anggota angkatan udara. 

Sekitar seperlima dari mereka adalah operasi pasukan khusus yang sangat terlatih. Kemudian ada angka yang dirahasiakan untuk kelompok paramiliter yang dilatih CIA serta milisi yang terkait dengan panglima perang Afghanistan. Sementara SIGAR memperkirakan, Taliban memiliki sekitar 75 ribu pasukan.

Baca juga : Panglima TNI: Menang Perang Lawan Covid-19, Pastikan Amunisi

Namun Korupsi yang menjalar dalam pasukan keamanan Afghanistan, memunculkan tentara dan polisi “hantu". Mereka adalah personel yang tidak pernah muncul, tetapi nama mereka tertera dalam pembukuan sehingga para pejabat dapat mengantongi gaji mereka.

Pada 2019, sistem penggajian baru menghapus lebih dari 10 persen anggota pasukan "hantu" dari daftar.  Setahun kemudian, laporan SIGAR menemukan kesenjangan 58.478 personel antara tingkat kekuatan yang tercatat dan yang sebenarnya.

Pada 2020, SIGAR melaporkan bahwa di provinsi selatan yang menjadi daerah sentimen pro-Taliban, sekitar 50 persen hingga 70 persen polisi yang berjaga di wilayah tersebut adalah 'polisi siluman'. Mereka tidak ada di wilayah yang dimaksud untuk meningkatkan penjagaan.  Laporan itu juga menemukan bahwa setengah dari mereka menggunakan narkoba.

“Untuk waktu yang lama, orang-orang di AS dan misi penasehat NATO telah mengetahui bahwa polisi Afghanistan terkenal korup,” kata analis senior untuk Afghanistan di International Crisis Group, Andrew Watkins, dilansir Los Angeles Times, Senin (16/8).

Watkins menambahkan, meskipun sistem penggajian baru telah memperbaiki situasi, para komandan sekarang mengurangi gaji bawahan mereka. “Apa pun solusi yang ada untuk korupsi, korupsi telah menemukan jalan,” kata Watkins.

Baca juga : DPC PDIP Solo tak Akan Ikut Terbangkan Balon

2. Kemampuan tak merata dan kurang motivasi

Bulan lalu Presiden AS Joe Biden optimistis bahwa kapasitas militer Afghanistan, lebih kompeten dalam menghadapi perang. Karena mereka lebih terlatih, dan memiliki persenjataan yang lengkap.

Namun pasukan Afghanistan yang benar-benar terlatih atau pasukan khusus hanya berjumlah sekitar 56 ribu. Sementara kinerja divisi militer lainnya kurang menggembirakan. Sebagian besar pengamat mengatakan, pasukan keamanan Afghanistan kurang memiliki motivasi untuk berperang.

“Mereka dimaksudkan untuk duduk di pos pemeriksaan dan bertindak sebagai representasi statis dari kehadiran pemerintah. Dipahami bahwa mereka tidak bertarung secara efektif, dan bahwa mereka bukan kekuatan ofensif," kata Watkins.

Hal ini menyebabkan rutinitas yang terlalu sering terjadi di medan perang yaitu pasukan khusus mengusir Taliban dari suatu daerah, beberapa saat kemudian personel keamanan lainnya, seperti tentara, polisi, atau milisi lokal yang kurang terlatih masuk ke daerah itu untuk melakukan pengamanan.

Ketika Taliban melakukan serangan balik, tentara, polisi, atau milisi lokal yang kurang terlatih tersebut konflik justru melarikan diri.


3. Ketergantungan Berlebihan pada Kekuatan Udara

Ketika pasukan yang kurang terlatih ini bertempur, mereka sering mencari dukungan udara untuk berlindung. Sebagian besar kekuatan udara didukung oleh AS dan NATO. Dengan demikian, ketika AS menarik diri, pasukan lokal harus lebih mengandalkan angkatan udara Afghanistan untuk melakukan serangan, pengintaian, dan pengumpulan intelijen.

Laporan SIGAR pada Juli mengatakan, dari semua jenis pesawat di angkatan udara Afghanistan, hanya 25 persen yang melakukan pemeliharaan terjadwal seperti yang direkomendasikan. Sementara awak pesawat tetap dibebani pajak.

Kontraktor Barat yang biasanya memperbaiki pesawat dan melakukan pemeliharaan meningalkan Afghanistan bersamaan dengan pasukan asing, sehingga masih belum ada rencana konkret untuk menjaga angkatan udara Afghanistan. Hal ini sangat merugikan UH-60 Black Hawk, yaitu helikopter yang digunakan dalam sejumlah misi militer termasuk memukul mundur serangan Taliban, mengevakuasi korban dan memasok pasukan Afghanistan.
 


4. Hambatan Logistik

Masalah terbesar lainnya yang dihadapi pasukan keamanan Afghanistan adalah logistik. Taliban telah menguasai daerah pedesaan, dan mendapatkan kendali atas lebih dari 80 persen jalan raya di Afghanistan. Dengan demikian pasokan logistik seperti peluru, persenjataan, makanan, dan bahan bakar dibawa oleh angkatan udara yang telah kewalahan.

Selain itu, semakin jauh jarak medan pertempuran dari Kabul atau pangkalan utama di Kandahar dan tempat lain, semakin besar kemungkinan pos terdepan akan jatuh. Seorang mantan kepala keamanan berpangkat tinggi yang berbicara dengan syarat anonim mengatakan, dia tidak heran jika pada akhirnya pasukan keamanan Afghanistan mudah dikalahkan.

“ANDSF sangat tersebar, dan tidak dapat memilih medan perangnya sendiri. Taliban memilih medan perang. Itu berarti ANDSF harus mengecilkan kehadirannya," ujar mantan kepala keamanan itu.

Bisakah Pemerintah Afghanistan Membalikkan Keadaan?

Berapa waktu lalu, Presiden Afghanistan Ashraf Ghani berjanji akan membawa negara itu kembali di bawah kendali pemerintah dalam waktu enam bulan.  Garis besar umum dari rencana tersebut adalah tentara mempertahankan sasaran-sasaran strategis, sementara polisi Afghanistan memberikan keamanan di daerah-daerah perkotaan.

Tetapi ada aspek lain yang tidak dibahas dalam rencana tersebut, yaitu memberdayakan mantan panglima perang, termasuk tokoh-tokoh dengan catatan kelam dalam sejarah konflik Afghanistan.

Kunjungan Ghani ke Mazar-i-Sharif adalah upaya untuk mengatur pertahanan kota dengan panglima perang Atta Mohammad Noor dan pemimpin milisi terkenal Abdul Rashid Dostum.  Ada laporan bahwa Ghani telah menjanjikan kedua pemimpin itu dukungan udara serta bantuan dari korps pasukan khusus untuk merebut kembali wilayah utara. Namun Taliban pada akhinya bisa juga merebut Mazar-I-Sharif.

Bisakah AS Terlibat Lagi?

Presiden Biden tidak menyesali keputusannya yang menarik pasukan AS dari Afghanistan sejak Mei lalu. Biden optimistis pasukan keamanan Afghanistan memiliki kemampuan untuk berperang melawan Taliban. Biden mengatakan, pasukan AS telah melatih dan melengkapi pasukan Afghanistan dengan persenjataan yang mumpuni.

“Kami melatih dan memberikan perlengkapan peralatan modern kepada lebih dari 300 ribu pasukan Afghanistan. Kami terus menjaga komitmen yang telah kami buat, memberikan dukungan udara, memastikan bahwa angkatan udara mereka berfungsi dan dapat dioperasikan, memasok pasukan mereka dengan makanan dan peralatan dan membayar semua gaji mereka. Mereka pasti bisa bertarung,” kata Biden di Gedung Putih.


BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler