Mengapa Dinamakan 'Ramadhan'?
Penamaan Ramadhan berkaitan dengan kebiasaan orang Arab amati fenomena alam.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umat Islam sedunia suka cita memasuki bulan suci Ramadhan. Secara kebahasaan, nama ramadhan berasal dari kata ramadhanat atau armidha.
Seperti dikutip Yusuf Burhanudin dalam buku Misteri Bulan Ramadhan, seorang pakar bahasa Ibnu Mandzur (630-711 H) menjelaskan bahwa asal kata ramadhan adalah al-ramadh, yang berarti ‘panas akibat sengatan sinar matahari.’ Pendapat yang lain menyebutkan, ramadhan berasal dari kata bahasa Arab ramidha yang bermakna ‘keringnya mulut orang yang berpuasa akibat haus dan dahaga.’
Menurut buku Ensiklopedi Islam, orang-orang Arab menamakan bulan kesembilan dalam penanggalan Hijriyah sebagai ramadhan karena pada masa itu padang pasir sangat panas akibat terik sinar matahari. Penamaan ini merupakan tradisi bangsa Arab yang senang memperhatikan fenomena alam untuk menandai suatu keadaan atau wilayah tempat tinggal mereka.
Teriknya pancaran terang matahari bukan hanya terkait penamaan bulan Ramadhan. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Dinamakan bulan Ramadhan karena ia cenderung membakar dosa-dosa.” Diketahui, nama ramadhan belum berlaku luas ketika masa jahiliyah atau awal-awal datangnya syiar Islam.
Buku Rahasia Puasa Ramadhan karya Yasin al-Jibouri dan Mirza Javad memaparkan, bulan kesembilan dalam penanggalan kamariah dinamakan sebagai al-Midmar. Itu bermakna ‘bulan yang menghancurkan ekses kejahatan dan dosa yang membebani tubuh manusia.’ Dengan demikian, pada bulan ini orang-orang berkesempatan untuk lebih membersihkan diri.
Masih menurut Jibouri dan Javad, selama masa kehidupan Rasulullah SAW, Ramadhan juga biasa disebut sebagai al-Marzuuq. Sebab, pada bulan tersebut orang-orang terbiasa memiliki persediaan makanan dan minuman yang lebih dari cukup. Ini merupakan salah satu bentuk nikmat Allah SWT untuk para hamba-Nya.
Hanya orang-orang tertentu pada zaman jahiliyah yang menyadari hikmah di balik keberlimpahan rezeki itu. Bulan al-Marzuuq lebih ditekankan sebagai momen untuk menggiatkan perniagaan. Belum terdapat riwayat yang menyebutkan adanya tradisi berpuasa pada bulan itu sebelum kedatangan syiar Islam.
Bangsa Arab pada masa jahiliyah memiliki tradisi hari raya. Sebagai contoh, penduduk Yastrib (Madinah) sebelum kedatangan risalah Islam telah memberlakukan dua hari raya, yakni Nairuz dan Mihrajan.
Perayaan Nairuz meniru-niru tradisi bangsa Persia. Demikian pula dengan Mihrajan, yang namanya berasal dari gabungan dua kata bahasa Persia, mihr, yang berarti 'matahari', dan jan yakni 'cinta'.
Perayaan Nairuz maupun Mihrajan menandakan kuatnya ekspansi kebudayaan Imperium Persia di Jazirah Arab, termasuk wilayah Yastrib. Penduduk setempat pun merayakan kedua hari tersebut secara meriah setiap tahun.
Begitu syiar Islam datang, penduduk Muslim Madinah menerima dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Keduanya lantas menggantikan popularitas Nairuz dan Mihrajan. Nabi Muhammad SAW mengingatkan, “Sesungguhnya setiap kelompok pasti mempunyai hari raya. Adapun Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri merupakan hari raya kita (umat Islam)” (HR Bukhari).