Iran Tolak IAEA Akses Kamera Pengintai di Fasilitas Nuklir
Presiden Iran Ebrahim Raisi bersikeras bahwa negaranya transparan.
REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN - Iran dilaporkan tidak akan memberikan izin kepada Badan Atom Internasional (IAEA) untuk mengakses ke kamera pengintai di fasilitas nuklir Iran. Hal itu menyusul adanya pembicaraan langsung tentang kesepakatan nuklir Iran antara IAEA dan Iran.
Sebuah sumber informasi mengatakan kepada kantor berita Tasnim bahwa selama kunjungan Direktur Jenderal IAEA Rafael Grossi, tidak akan ada akses yang diberikan ke rekaman tersebut. "Selama kunjungan Rafael Grossi ke Teheran, tidak akan ada perubahan dalam akses IAEA ke informasi tentang fasilitas nuklir, dan IAEA masih tidak akan memiliki akses ke rekaman kamera pengintai," kata sumber itu seperti dikutip laman Al Arabiya, Ahad (112/9).
Sebelumnya, The Wall Street Journal telah melaporkan bahwa kunjungan Direktur Jenderal Rafael Grossi ke Teheran mengikuti kesepahaman antara Iran dan IAEA. Kesepakatan itu akan memberikan akses kepada badan tersebut untuk mengatur ulang peralatan yang memantau kegiatan nuklir Iran dan melanjutkan kerja sama dengan penyelidikan bahan nuklir yang ditemukan di Iran.
Grossi dilaporkan akan bertemu dengan kepala badan energi nuklir Iran dan wakil presiden negara itu pada Ahad (12/9) waktu setempat. Pekan ini, IAEA membuat penilaian tajam terhadap Iran dalam sebuah laporan kepada negara-negara anggota nuklir dunia.
"Sejak 23 Februari verifikasi IAEA dan kegiatan pemantauan telah serius dirusak sebagai akibat dari keputusan Iran untuk menghentikan pelaksanaan komitmen yang berhubungan dengan nuklir," kata laporan IAEA.
Laporan itu mengatakan, bahwa dalam kondisi ini, kapasitas teknis IAEA untuk memantau program nuklir Iran telah jauh menurun secara signifikan. "Keyakinan bahwa Iran dapat mempertahankan kontinuitas pengetahuan menurun dari waktu ke waktu," tulis laporan itu.
Kendati demikian, Presiden Iran Ebrahim Raisi bersikeras bahwa negaranya transparan. "Tentu saja, dalam hal pendekatan non-konstruktif oleh IAEA, tidak masuk akal mengharapkan Iran untuk merespons secara konstruktif." katanya pada Rabu lalu menurut sebuah pernyataan dari kepresidenan.
Pembicaraan tidak langsung antara Amerika Serikat dan Iran tentang kesepakatan nuklir 2015 (JCPOA) telah dihentikan sejak Juni. Washington dan sekutu Eropa telah mendesak pemerintahan Presiden Ebrahim Raisi untuk kembali menghidupkan perundingan JCPOA. Di bawah kesepakatan JCPOA antara Iran dan negara-negara besar, Teheran menyetujui pembatasan kegiatan nuklir dengan imbalan pencabutan sanksi.
Pada 2018, mantan presiden Donald Trump menarik AS keluar dari JCPOA dan kembali menerapkan sanksi ekonomi terhadap Iran. Pada 2019, Iran menanggapi keputusan AS dengan melanggar batasan inti kesepakatan JCPOA seperti memperkaya uranium ke kemurnian yang lebih tinggi sehingga lebih dekat untuk digunakan dalam senjata nuklir.