Negara Maju Pakai Vape Hentikan Paparan Rokok Remaja

Vape dinilai lebih aman daripada rokok konvensional.

Republika/Wihdan Hidayat
Rokok Elektrik/ Vape
Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Riset terkait penggunaan vape terus dilakukan di berbagai negara di dunia. Faktor kunci di balik penelitian ini adalah untuk pencegahan paparan rokok konvesional di kalangan remaja. Menurut Hokkop Situngkir, Ketua Konsumen Vape Berorganisasi (KONVO), vape memiliki risiko yang jauh lebih rendah daripada rokok konvensional. 


Sebuah studi yang dipresentasikan pada Konferensi Eropa tentang Tembakau atau Kesehatan 2011 menyatakan dengan tegas bahwa vape lebih aman daripada rokok konvensional. "Ini berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 3.587 peserta, 70 persen di antaranya adalah mantan perokok, 61 persen di antaranya adalah laki-laki dan dengan usia rata-rata 41 tahun," katanya dalam keterangan pers tertulis, Jumat (17/9). 

Tes rokok elektrik berlangsung selama tiga bulan, dengan 120 isapan dan lima kali isi ulang per hari. Mayoritas (96 persen) mengatakan rokok elektrik membantu mereka berhenti merokok atau mengurangi kebiasaan merokok. Selain itu, sebanyak 84 persen menganggap rokok elektrik lebih rendah risiko dibandingkan rokok tembakau.

Saat ini banyak ahli dan badan professional yang sepakat pada adanya faktor pengurangan risiko pada rokok elektrik. Sebuah studi tahun 2018 yang diterbitkan Public Health England, dalam tinjauan independen terbaru terhadap sains menemukan bahwa rokok elektrik tidak hanya 95 persen lebih rendah risiko, tetapi juga paling efektif dalam membantu perokok beralih dari merokok, jika dibandingkan dengan koyo atau permet karet nikotin. 

“Di Inggris saja, setidaknya 57.000 mantan perokok berhenti merokok dengan penggunaan rokok elektrik setiap tahun. Faktanya, pada 2019 dua rumah sakit dari Layanan Kesehatan Nasional membuka toko vape di tempat mereka untuk lebih mendorong perokok agar berhenti dari kebiasaan itu,” sambungnya.

Kondisi ini pula yang membuat beberapa negara untuk mengembangkan produk vape agar para remaja tidak terjebak produk rokok konvensional. Hal ini tergambar dari riset yang dilakukan oleh Institut Nasional Penyalahgunaan Narkoba (NIDA) Amerika Serikat.

“Model kami memprediksi prevalensi merokok dengan cukup akurat sebelum ketersediaan rokok elektrik. Tetapi begitu e-rokok tersedia secara luas, itu semakin melebih-lebihkan prevalensi (merokok). Jadi prevalensinya menurun, tetapi model kami berdasarkan era sebelum rokok elektrik memprediksi penurunan hanya saja tidak terlalu drastis,” tulis riset tersebut.

Hokkop menjelaskan dari riset tersebut, remaja yang memiliki kecenderungan rendah untuk merokok setelah rokok elektrik tersedia sangat tidak mungkin untuk menggunakan rokok elektrik.

Dengan kata lain, remaja yang melakukan vape umumnya adalah mereka yang akan merokok jika vape tidak tersedia. “Sehingga penurunan perokok remaja benar-benar dipercepat setelah tersedianya rokok elektrik,” ujar Hokkop sesuai hasil riset tersebut.

Negara-negara di seluruh dunia telah mulai menerima fakta tentang rokok elektrik - bahwa terdapat potensi kesehatan masyarakat yang besar pada vape ketika diadopsi bersamaan dengan kampanye informasi publik yang kuat dan peraturan perlindungan konsumen yang efektif. Karena itu, Hokkop optimistis bahwa rokok elektrik akan semakin diterima secara luas sebagai alat untuk mengurangi bahaya rokok dan akan memberi manfaat bagi jutaan orang di Indonesia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler