Hukum Bagi Muslim Bermigrasi ke Negara Non-Muslim

Masalah justru muncul jika hal itu mereduksi keyakinan hidup umat Islam.

AP Photo/Jean-Francois Badias
Hukum Bagi Muslim Bermigrasi ke Negara Non-Muslim. Pembangunan Masjid Eyyub Sultan di Strasbourg, Prancis Timur, Rabu, 24 Maret 2021.
Rep: Imas Damayanti Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kehidupan umat Muslim di negara-negara non-Muslim menemui banyak problem fikih, seperti sulitnya melaksanakan sholat Jumat, pengajian, dan akses pendidikan agama untuk anak-anak. Lantas bagaimana hukum bagi Muslim bermigrasi ke negara non-Muslim?

Baca Juga


KH Nasaruddin Umar dalam buku Geliat Islam di Negeri non-Muslim menjelaskan dalam Islam tidak ada larangan tegas bagi seorang Muslim untuk bermigrasi ke negara-negara non-Muslim. Yang penting ada jaminan bisa menjalankan ajaran Islam di sana.

Masalah justru muncul jika di sana akan mereduksi keyakinan hidup umat Islam. Hal ini berdasarkan dalil dalam Alquran Surah Al-Ankabut ayat 56, Allah berfirman, “Ya-ibadiy alladzina aamanu inna ardhi waasi’atun fa-iyyaya fa’buduniy,”. Yang artinya, “Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja,”.

Dijelaskan pula Rasulullah SAW juga pernah memberikan respons terhadap umatnya di Makkah yang mengalami tekanan dari kaum kafir Quraisy dengan mengatakan, “Sesungguhnya di negeri Habasyah ada seorang raja yang sama sekali tidak akan menzalimi seorang pun. Datanglah ke negara itu sampai Allah SWT memberikan jalan keluar dari apa yang kalian alami,”.

Kiai Nasaruddin mengutip pandangan Ibnu Katsir yang menyebutkan bermigrasi ke negeri non-Muslim hukumnya memang dibolehkan. Ibnu Hazm berpendapat seorang Muslim boleh bermigrasi ke negeri non-Muslim jika di dalam negerinya mendapati ancaman. Baik dari tekanan pemerintah maupun tekanan krisis ekonomi yang mengancam hidup mereka.

Kebolehan ini dengan catatan sepanjang jaminan keselamatan dan keamanan, termasuk jaminan menjalankan kehidupan dan menjalankan ajaran agama di sana. Akan tetapi apabila di sana justru akan menimbulkan kemudharatan, baik secara personal maupun akidah dan kepercayaan, apalagi dia akan dimanfaatkan untuk membongkar rahasia negerinya sendiri, maka itu hukumnya haram.

 

 

Dasar pertimbangan larangan Ibnu Hazm, kata Kiai Nasaruddin, bisa dihubungkan dengan kebijakan dari Sayyidina Umar bin Khattab saat menjadi khalifah. Beliau melarang ekstradisi pezina perempuan ke luar negeri, sebagaimana dilakukan dalam tradisi Nabi Muhammad SAW dan Sayyidina Abu Bakar. Alasan pelarang tersebut adalah karena dunia Islam sudah sedemikian kompleks.

Sehingga dikhawatirkan jika pezina itu diekstradisi ke negeri lain, dia akan dimanfaatkan musuh untuk membocorkan rahasia umat Islam. Sayyidina Umar kemudian mengganti hukum ekstradisi ini dengan penjara.

Di penjara, selain yang bersangkutan akan aman, negeri asal juga akan aman. Selain itu lebih dimungkinkan untuk melakukan pembinaan terhadap yang bersangkutan.

Dalam konteks masyarakat modern seperti sekarang, dunia internasional relatif sudah jauh lebih baik daripada masa Nabi Muhammad SAW ataupun masa sahabat. Kiai Nasaruddin menjelaskan, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah mengatur secara khusus nasib dan kehidupan para pengungsi. Dengan demikian, migrasi Muslim ke negara-negara non-Muslim sah dan dibolehkan.

Dampak eksodus umat Islam akibat ekonomi dan politik

Eksodus besar-besaran umat Islam yang pernah terjadi ke negara-negara maju seperti Eropa, Kanada, Amerika, Australia, hingga Rusia yang disebabkan akibat krisis ekonomi dan politik menimbulkan dampak yang menyertainya. Eksodus yang dipicu oleh kedua aspek tersebut memberikan dampak hegemoni multidimensi di negara-negara tujuan.

Dampak tersebut, kata Kiai Nasaruddin, berupa dampak yang positif dan juga negatif. Tergantung dari sudut pandang mana seseorang melihatnya. Yang pasti di negara-negara tempat tujuan itu lahir generasi kedua mereka yang tetap beragama Islam. Hal ini berdasarkan pengamatan dari mantan direktur informasi NATO Murad Hofman dan penulis serta pengamat Oliver Roy.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler