Saat Nabi Mengubah Tempat Pengeringan Kurma Jadi Masjid Suci
Masjid tersebut adalah masjid suci Nabawi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah tempat pengeringan kurma milik dua orang anak yatim bernama Sahal dan Suhail dipilih Nabi Muhammad SAW menjadi lokasi berdirinya sebuah masjid suci. Kelak, masjid yang dibangun di tempat ini merupakan salah satu masjid suci dari tiga masjid suci yang dikenal umat Muslim, yakni Masjid Nabawi.
Abdul Fattah As-Samman dalam buku Harta Nabi menjelaskan riwayat bagaimana Rasulullah SAW memilih tempat pengeringan kurma itu untuk dijadikan masjid. Imam Bukhari meriwayatkan dari Urwah bin Az-Zubair, bahwasannya Rasulullah bertemu dengan Az-Zubair yang sedang bersama rombongan pedagang Muslim.
Mereka datang dari arah Syam dan lantas Rasulullah menetap bersama Bani Amr bin Auf selama belasan malam. Beliau mendirikan masjid pertama dan beliau sholat di dalamnya. Nabi kemudian menaiki kendaraannya dan berjalan di antara manusia hingga unta beliau berhenti di tempat yang selanjutnya dijadikan Masjid Nabawi.
Nabi Muhammad SAW sholat di tempat itu bersama sekelompok kaum Muslimin. Tempat tersebut asalnya adalah tempat pengeringan kurma milik dua anak yatim bernama Sahal dan Suhail yang berada di bawah pengasuhan Sa’ad bin Zurarah.
Rasulullah SAW bersabda, "Insya Allah ini tempat (yang diberkahi)." Kemudian Rasulullah memanggil dua anak yatim tersebut dan menawar tempat pengeringan kurma milik mereka berdua untuk dijadikan masjid.
Kedua anak itu lantas berkata, “Kami menghibahkannya kepadamu, wahai Rasulullah,”. Namun demikian, Nabi tidak mau menerimanya secara hibah, maka beliau membelinya dan kemudian membangunnya sebagai masjid.
Kemudian, Nabi Muhammad SAW memerintahkan Sayyidina Abu Bakar agar membayar harga kepada keduanya. Dia mengatakan, selain Ma’mar mengatakan, “Dia memberikan 10 dinar kepada keduanya,”. Dari Anas bin Malik, Nabi bersabda, “Wahai Bani An-Najar, sampaikanlah harga kebun kalian kepadaku,”. Kemudian mereka mengatakan, “Demi Allah, kami tidak meminta harganya kecuali kepada Allah SWT,”.
Namun yang perlu digarisbawahi adalah, tidak ada pertentangan mengenai persoalan harga di antara keduanya. Keduanya dikompromikan bahwa ketika mereka mengatakan, “Kami tidak meminta harganya kecuali kepada Allah,”. Nabi lantas bertanya kepada pemilik kebun secara khusus.
Kemudian mereka menunjuk dua anak tersebut dan lalu beliau membelinya dari keduanya. Dengan demikian, orang-orang yang mengatakan kepada beliau, “Kami tidak meminta harganya kecuali kepada Allah,” maksudnya mereka yang menanggung pembayarannya kepada kedua anak tersebut. Sedangkan menurut versi Az-Zubair, Abu Ayyub yang menanggung pembayarannya.
Imam As-Samhudi mengatakan, “Cara mengkrompomikan antara hadits yang menyebutkan Nabi membayar harga kebun dua anak yatim dan hadits yang menyebutkan Nabi menerima kebun tersebut sebagai hibah dari mereka ketika mereka mengatakan, “Kami tidak meminta harganya kecuali kepada Allah SWT,” adalah beliau bertanya secara khusus tentang orang yang memilikinya.
Lalu mereka menyebutkan kedua anak tersebut. Nabi membeli dari keduanya atau dari wali keduanya jika keduanya belum baligh. Dengan demikian, maksud pernyataan mereka tidak meminta harganya kecuali kepada Allah adalah karena As’ad membayarkan harganya dengan kurma miliknya di Bani Bayadhah.
Sedangkan Al-Waqidi meriwayatkan sesungguhnya Nabi membelinya dari Ibnu Afra dengan 10 dinar emas. Sayyidina Abu Bakar membayarkannya sebab beliau ingin meraih kebaikan darinya sebagaimana As’ad, Abu Umamah, dan Muadz bin Afra.
Maka Sayyidina Abu Bakar menyerahkan 10 dinar sementara yang lain menyerahkan sebagaimana yang telah disebutkan. Nabi SAW pertama kalinya tidak mau menerimanya kecuali dengan membayar harganya karena kebun tersebut milik dua orang anak yatim.