Peralihan Mobil Listrik Jangan Ganggu Industri Pendukung
Pengalihan teknologi diharapkan berjalan secara alami.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menilai peralihan paradigma kendaraan bermesin menuju kendaraan listrik sebaiknya tidak mengganggu industri pendukung otomotif lainnya. Sebab Shodiq mencatat setidaknya ada 1,5 juta karyawan yang bekerja industri pendukung otomotif Tier 1 sampai Tier 3 yang perlu diperhatikan karena akan terdampak kebijakan mobil listrik tersebut.
Ketua V Gaikindo Shodiq Wicaksono mengatakan peralihan penggunaan kendaraan listrik dari sisi masyarakat maupun industri memiliki banyak faktor yang memengaruhi.
“Perlu ada transisi teknologi untuk meminimalisasi dampak perubahan struktur industri supplier, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Pengalihan teknologi diharapkan berjalan secara alami, bisa cepat atau lambat tetapi sebaiknya mengakomodasi semua pihak,” ujarnya saat webinar, Jumat (15/10).
Dia juga menilai peta jalan pengembangan kendaraan listrik di Indonesia sebaiknya berlangsung secara alami. Hal ini diharapkan untuk mendorong industri otomotif Indonesia menuju era elektrifikasi.
“Contohnya dahulu masyarakat Indonesia menggunakan mobil bertransmisi manual, namun untuk mengenalkannya ke transmisi otomatis dilakukan edukasi oleh APM secara alamiah sampai akhirnya mereka beralih sendiri. Begitu juga dengan EV ini mungkin bisa dilakukan dengan pendekatan transisi secara alamiah,” ucapnya.
Menurutnya strategi peralihan secara alami terbukti berhasil diterapkan oleh pemerintah dalam upaya menurunkan emisi karbon melalui produksi low cost green car (LCGC) yang dilakukan pada 2013 lalu.
“Sampai saat ini kontribusi penjualan LCGC terhadap total penjualan kendaraan nasional bisa bertahan angka 20 persen. Jadi memang stepping menuju pure EV itu perlu dilakukan secara alamiah,” ucapnya.
Seperti diketahui sebelum industri nasional bisa memproduksi baterai kendaraan listrik ada dua teknologi lain yang bisa dijadikan tahapan menuju kendaraan listrik murni (Battery Electric Vehicle/BEV), yaitu HEV (Hybrid Electric Vehicle) dan PHEV (Plug-in Hybrid Electric Vehicle).
“Seberapa cepat kita bisa menuju BEV tergantung kesiapan para stakeholder. Jika baterai kendaraan listrik yang murah bisa tersedia dengan cepat, dan insentif pembelian atau penjualan BEV bisa diberikan dengan baik maka prosesnya bisa lebih cepat. Artinya ada banyak hal yang harus diperhatikan sebelum mencapai ke BEV,” kata Shodiq.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (Giamm) Hamdhani Dzulkarnaen Salim memperkirakan sekitar 47 persen perusahaan komponen yang menjadi anggota asosiasinya akan terdampak kebijakan kendaraan listrik.
“Terutama perusahaan yang yang memproduksi mesin dan ribuan komponen di dalamnya, kemudian produsen transmisi juga akan terpengaruh, yang memproduksi tangki dan filter BBM serta oli, sampai exhaust valve pasti akan terpengaruh,” ucapnya.
Dosen Desain Produk FSRD-ITB Yannes Martinus Pasaribu menyebut Indonesia memiliki potensi besar menjadi negara kaya karena menguasai sekitar 23 persen cadangan nikel dunia ditambah memiliki sumber daya elemen penyusun baterai lithium. Apabila seluruhnya dipergunakan sebagai modal mendirikan industri baterai nasional, maka bukan tidak mungkin pada 2030 mendatang Indonesia bisa menjadi negara produsen baterai kendaraan listrik terbaik di ASEAN.
“Untuk menuju ke sana perlu leadership yang kuat. Sementara dalam proses menuju kesana, Indonesia kan ada potensi penerimaan dari carbon tax minimal Rp 3,03 triliun per tahun. Bagaimana kalau insentifnya diberikan ke stakeholder baik itu masyarakat atau industri agar harga mobil dan motor listrik menjadi menarik,” ucapnya.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menggarisbawahi meningkatnya kebutuhan baterai kendaraan listrik akan mendukung peran strategis Indonesia dalam rantai pasok global industri kendaraan listrik. Hal ini mengingat posisi Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia, serta masih tingginya cadangan bahan baku primer lainnya seperti kobalt, mangan, dan aluminium.
Tercatat saat ini ada sembilan perusahaan yang telah siap mendukung industri baterai, lima perusahaan penyedia bahan baku baterai, dan empat perusahaan produsen baterai.
"Industri baterai indonesia harus mengantisipasi perkembangan teknologi ke depan yang berdampak pada harga lebih murah, energi yang dihasilkan lebih tinggi, dan waktu pengisian yang singkat. Adanya teknologi disruptive battery seperti ini, mengindikasikan ketersediaan nikel, mangan dan kobalt melimpah tidak menjamin produksi baterai keberhasilan produksi baterai. Pertimbangan biaya dan kemampuan storage dari material baru juga harus diantisipasi,” ucapnya.