Tujuh Tahun Jokowi, Pukat: Aspek Pemberatasan Korupsi Lemah
Peneliti Pukat UGM nilai aspek pemberantasan korupsi selama pemerintahan Jokowi lemah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, menilai tujuh tahun pemerintahan Jokowi, terutama di dua tahun pemerintahan Jokowi-Maruf Amin, tidak memiliki perhatian dalam pemberantasan korupsi. Hal ini sangat berbeda dengan semangat presiden Jokowi dalam pembangunan infrastruktur.
Semangat Presiden Jokowi, menurutnya, tidak sesemangat ketika menyoroti proyek-proyek infrastruktur dan proyek strategis nasional lainnya. Menurut Zaenur, pengukuran yang paling mudah melihat pelemahan pemberantasan korupsi semakin lemah adalah indeks persepsi korupsi Indonesia, yang semakin anjlok, bahkan dibandingkan negara-negara se-ASEAN, seperti Malaysia dan Singapura.
"Jadi pada tahun 2020 itu indeks persepsi korupsi Indonesia justru turun drastis ya yang pada tahun 2019 berada di angka 40 justru turun 3 poin pada tahun 2020 hanya 37 poin, dari skala 100. Itu menunjukkan bahwa Indonesia masih lekat dengan korupsi Indonesia belum menjadi negara yang bersih dari korupsi," jelasnya kepada wartawan, Kamis (21/10).
Menurut dia, setidaknya ada beberapa faktor yang membuat kenapa indeks persepsi korupsi Indonesia itu turun. Faktor utama merusak yang paling jelas adalah kombinasi revisi Undang-Undang KPK dengan lemahnya integritas kepemimpinan KPK periode saat ini. Zaenur melihat sejak pansel KPK bentukan Presiden, sudah terlihat bagaimana masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia beberapa tahun kedepan.
Dan kecurigaan itu terbukti. Dimana Pimpinan KPK terpilih sejak awal hingga kini selalu menuai kritik di masyarakat, mulai dari persoalan etik hingga dugaan pelanggaran pidana. Belum lagi pada tahun 2021 revisi undang-undang KPK itu semakin memperburuknya institusi pemberantasan korupsi KPK. Kecurigaan KPK semakin digembosi mulai terlihat. Kemudian sebagai hasil revisi kemudian kinerja KPK sangat buruk. Angka operasi tangkap tangan juga turun drastis, justru karena KPK disibukkan dengan permasalahan internal.
"Salah satunya adalah konsekuensi dari revisi Undang-Undang KPK yang mengubah status kepegawaian KPK menjadi ASN. Dimana ada tes wawasan kebangsaan yang menghasilkan pemecatan 57 pegawai KPK," imbuhnya.
Sedangkan 57 pegawai KPK ini adalah para senior, yang telah memiliki rekam jejak sangat garang dalam pemberantasan korupsi. Zaenur memandang mereka telah mengabdi ke KPK sudah sangat lama, dan menjadi bagian dari budaya pemberantasan korupsi di KPK. Karena itu, wajar jika publik melihat kepergian mereka merupakan kerugian besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
PUKAT UGM menyayangkan sikap Presiden selama perjalanan polemik internal KPK ini tidak melaksanakan rekomendasi Komnas HAM maupun rekomendasi dari Ombudsman mengenai adanya pelanggaran HAM dan mal administrasi dalam proses TWK tersebut, justru membiarkan nasib mereka menggantung. "Ini semakin menunjukkan bahwa memang komitmen Presiden itu tidak ada dalam pemberantasan korupsi," tegasnya.
Selanjutnya selama periode kedua kepemkmpinan Jokowi sekarang ini, Zaenur melihat Presiden Jokowi juga tidak memiliki dukungan pemberantasan korupsi melalui inisiatif Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan atau Pengembalian Aset, yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi secara optimal. Sebab selama ini upaya pemberantasan korupsi terbentur banyak hal, termasuk upaya pengembalian aset tersebut.
Selama ini ia menilai ada hambatan hambatan, yang tidak diatur dalam UU Tipikor, karena itu dibutuhkan RUU perampasan/pengembalian aset ini. Namun sayangnya ia memandang, RUU inipun tidak dimasukkan dalam Prolegnas. "Jika RUU perampasan aset ini disahkan maka apabila ada seorang penyelenggara negara yang memiliki harta yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya, maka harta tersebut dapat disita Untuk negara. Dan itu dapat menjadi pengubah permainan dalam pemberantasan korupsi," paparnya.