Bangladesh Luncurkan Kurikulum Myanmar untuk Anak Rohingya
Anak-anak kini menghadiri 6.250 pusat pembelajaran informal yang dijalankan PBB
REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA--Pihak berwenang Bangladesh dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sedang bersiap memperkenalkan pendidikan formal menggunakan kurikulum Myanmar untuk ratusan ribu anak Rohingya yang tinggal di kamp pengungsi, Cox’s Bazar.
Cox’s Bazar merupakan wilayah Bangladesh yang menampung lebih dari 1,1 juta Muslim Rohingya, kelompok etnis dan agama minoritas yang melarikan diri dari penganiayaan militer Myanmar pada tahun 2017. Anak-anak yang berjumlah lebih dari setengah populasi pengungsi, sekarang menghadiri 6.250 pusat pembelajaran informal yang dijalankan PBB dan mitra bantuan.
Mereka memberikan materi dasar kepada lebih dari 354 ribu siswa. Pada Januari 2020, pemerintah Bangladesh dan PBB menyetujui anak-anak Rohingya harus diberikan pendidikan untuk mempersiapkan mereka kembali ke negara asal di masa depan. Karena terhambat pandemi Covid-19, program baru akan diluncurkan dalam waktu dekat ini.
Juru Bicara Badan Pengungsi PBB Regina de la Portilla mengatakan kurikulum Myanmar akan diperkenalkan di pusat pembelajaran sesuai permintaan pemerintah Bangladesh. “Program ini bertujuan agar anak-anak dapat memulai kembali pendidikan mereka saat mereka sudah dewasa ke negara asal,” kata Portilla, dilansir Arab News, Rabu (27/10).
BRAC, organisasi pembangunan terbesar yang berbasis di Bangladesh berencana untuk mengajar anak-anak Rohingya dalam bahasa utama Myanmar, Burma. Kepala Program Pendidikan BRAC di Cox\'s Bazar Khan Mohammed Ferdous mengatakan guru di pusat pembelajarannya telah menerima pelatihan dasar, tetapi mereka belum dilatih untuk kurikulum baru.
“Saat ini, kami mengikuti kerangka dan pendekatan kompetensi pembelajaran, pedoman yang disetujui pemerintah untuk sistem pendidikan informal. Secara bertahap, kerangka tersebut akan beralih ke dalam kurikulum Myanmar,” kata Ferdous.
Sementara itu, orang tua Rohingya di Cox’s Bazar tengah menunggu pengenalan kurikulum baru. Fatema Begum (35 tahun) mengkhawatirkan keempat anaknya karena pendidikan formal tidak tersedia di kamp.
“Pengenalan kurikulum Myanmar di kamp-kamp adalah kabar yang menginspirasi saya karena anak-anak saya akan memiliki kesempatan untuk belajar lebih banyak tentang tanah air mereka. Mereka akan memiliki kelayakan untuk melanjutkan pendidikan tinggi,” kata Begum.
Langkah ini juga disambut baik oleh Profesor Departemen Hubungan Internasional Universitas Dhaka Amena Mohsin. Dia menggambarkan program pengenalan kurikulum Myanmar sebagai pesan kepada dunia bahwa pengungsi Rohingya adalah warga negara Myanmar yang memiliki kesempatan hidup di Bangladesh terbatas.
“Tidak ada gunanya mengajar anak-anak pengungsi dengan kurikulum Bangladesh karena mereka tidak diizinkan untuk terlibat dalam pekerjaan formal apa pun di Bangladesh. Kurikulum Myanmar akan membantu mereka mempersiapkan mata pencaharian ketika mereka kembali ke Myanmar,” ujar dia.