Banjir Bandang Batu dan Alih Fungsi Hutan Lindung
Lahan pertanian sayur di hutan lindung tak miliki kemampuan mengikat air dengan baik.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Empat hari usai banjir bandang, semua pengungsi korban banjir bandang di Kota Batu, Jawa Timur, telah kembali ke rumah masing-masing. Di sisi lain, akses jalan yang sempat tertutup lumpur sudah bisa dilalui kembali.
Plt Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, mengatakan, setelah banjir bandang menerjang pada Kamis (4/11), sebanyak lima warga mengungsi di Gedung Kesenian Bulukerto. Menurut BPBD setempat, per Sabtu (6/11) pukul 24.00 WIB, semua pengungsi itu telah kembali ke rumah masing-masing.
"Selain itu, laporan terkini dari lapangan beberapa ruas jalan yang sempat tertutup lumpur dan terputus sudah bisa kembali dilalui," kata Abdul salam siaran persnya yang diterima di Jakarta, Ahad (7/11).
Abdul menjelaskan, banjir bandang ini mengakibatkan 13 orang hanyut. Semua korban telah ditemukan, dengan tujuh di antaranya meninggal dunia. Secara keseluruhan, banjir bandang ini berdampak terhadap 89 kepala keluarga (KK).
Adapun kerugian materil meliputi 35 unit rumah rusak, 33 unit rumah terendam lumpur, 73 unit sepeda motor rusak, 7 unit mobil rusak, 107 hewan ternak hanyut dan 10 kandang ternak rusak berat.
BNPB juga telah memberikan beberapa rekomendasi penanganan pascabanjir bandang. Salah satunya adalah perlu dilakukan giat susur sungai oleh instansi yang berpengalaman seperti TNI Polri dan Basarnas.
Tujuannya untuk melihat di mana saja titik-titik potensi sumbatan atau bendung alam di wilayah hulu. Susur sungai juga diikuti dengan pembersihan sisa-sisa pohon tumbang di wilayah hulu.
BNPB, lanjut dia, juga merekomendasikan agar wilayah lereng tebing atau kawasan kebun semusim lainnya ditanami dengan jenis vegetasi yang keras dan berakar kuat seperti vetiver, sukun, dan tanaman akar kuat lainnya. "Vegetasi akar kuat tersebut dapat mengikat tanah dan mencegah terjadinya longsoran," kata Abdul.
Sebelumnya, hasil survei tim BNPB menemukan bahwa banjir bandang ini terjadi bukan hanya karena curah hujan tinggi, tapi juga karena adanya longsoran di wilayah hulu Sungai Brantas. Longsoran terjadi karena tebing di tepi sungai dijadikan area perkebunan.
Sementara, Ketua ProFauna Indonesia, Rosek Nursahid mengatakan, dia bersama tim ProFauna telah menyusuri alur terjadinya banjir termasuk mencari titik-titik longsor. Kegiatan ini berlangsung hingga melewati Pusung Lading yang berada di lereng Gunung Arjuno.
"Jadi kesimpulan sementara dari ProFauna memang ada beberapa faktor penyebab kenapa terjadi banjir bandang," kata Rosek.
Setidaknya ada dua faktor penyebab di samping karena curah hujan tinggi. Pertama, banjir bandang diduga diakibatkan lahan bekas kebakaran hutan di lereng Arjuno.
Kebakaran yang terjadi pada 2019 ini menyebabkan banyak pohon mati dan tumbang sehingga membentuk bendungan alami. Kondisi ini membuat proses aliran air terhambat lalu jebol saat tidak bisa menahan luapan air.
Kedua, banjir bandang diakibatkan oleh alih fungsi atau penanaman sayur di hutan lindung wilayah lereng Gunung Arjuno. Hal tersebut diungkapkan karena ProFauna sempat menyusuri sungai di Pusung Lading di mana ini termasuk sungai mati. Artinya, sungai ini biasanya tidak pernah terisi air kecuali beberapa waktu lalu.
Rosek tidak mengetahui pasti luasan hutan lindung yang dimanfaatkan menjadi lahan pertanian. Namun dia memperkirakan 90 persen luas hutan lindung sudah menjadi lahan pertanian. Sayur jenis kubis dan wortel termasuk tanaman yang paling sering ditanam di lahan-lahan tersebut.
Untuk diketahui, sistem perakaran sayur tidak memiliki kemampuan mengikat air dengan baik. Ketika ada hujan, air akan langsung lewat permukaan tanah sambil membawa butiran tanah. Air tidak meresap ke dalam tanah dengan baik sehingga volumenya menjadi besar.
Jika lahan diisi pepohonan, air hujan bisa terserap dengan baik ke dalam tanah. Pasalnya, pohon dikenal memiliki sistem perakaran bagus dan kuat untuk meresap air hujan. Hal ini berbeda jauh dengan sayur karena membuat air berkumpul di permukaan dan ceruk-ceruk kayu bekas kebakaran sehingga terjadi banjir bandang.
Tanam Pohon Buah
Melihat kondisi memprihatikan ini, ProFauna sebenarnya telah melakukan solusi sederhana dengan skala kecil. Yakni, rehabilitasi hutan lindung dengan cara mengalihkan komoditas tanaman dari sayur menjadi pohon buah-buahan. Harapannya, para petani tetap mendapatkan untung secara ekonomi dari panen buah.
ProFauna setidaknya sudah mendampingi tiga kelompok di tiga lokasi di lereng Arjuno. Para petani di wilayah tersebut sudah sepakat dengan melakukan tanda tangan tertulis untuk memulihkan hutan lindung. Mereka mau mengganti lahan sayuran menjadi pohon buah-buahan.
ProFauna dan para petani memprediksi hutan akan pulih sekitar empat sampai lima tahun ke depan. Situasi ini dapat terlaksana karena pertumbuhan pohon itu cepat. Terlebih, ProFauna dan petani menanam pohon alpukat yang dalam lima tahun bisa langsung panen.
Berdasarkan hal tersebut, pemerintah sebenarnya cukup membantu menyediakan bibit-bibit pohon buah ke petani. Sebab, para petani pada dasarnya tidak masalah apabila harus mengganti lahannya dengan pohon buah-buahan. "Cuma mereka masih kesulitan bibit kalau penyediaannya secara mandiri," katanya.
Dari segi pemasukan, menanam pohon buah-buahan sebenarnya lebih menguntungkan dibandingkan sayuran. Hal ini karena menanam sayuran itu seperti 'berjudi'. Harga saat panen sering turun sehingga sering menimbulkan kerugian kepada para petani.
"Contoh sekarang harga kubis terakhir hanya Rp 2 ribu. Padahal itu kalau dihitung biaya perawatan, pestisida, belum lagi kalau dihitung tenaga kerja, itu rugi," kata dia menegaskan.