Masa Depan Suram Gara-Gara Perubahan Iklim

Anak-anak terancam oleh perubahan iklim, kesehatannya hingga kesejahteraannya.

EPA/Andy Rain
Puluhan ribu pengunjuk rasa menuntut tindakan lebih berani demi atasi perubahan iklim di Glasgow, Skotlandia pada Sabtu (6/11).
Red: Joko Sadewo

Oleh : Dwi Murdaningsih, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Sebanyak 130 kepala negara dan pemerintahan dunia bertemu membahas penanganan nyata perubahan iklim. Di KTT Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia, para pemimpin dunia membahas komitmen terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca dan pembiayaan penanggulangan dampak bencana iklim.

Ada beberapa komitmen yang bisa dicatat untuk kita tagih.  Salah satunya yakni komitmen dari 130 negara untuk menghentikan deforestasi pada 2030.

Selain itu, ada komitmen dari 190 negara untuk berhenti menggunakan batu bara pada 2030-an bagi negara utama dan 2040-an untuk negara miskin.

Namun, beberapa negara juga 'menunda' target emisi bersih. Misalnya, India berjanji untuk mengurangi emisinya menjadi nol bersih pada tahun 2070. Rencana India ini menghilangkan tujuan utama KTT COP26 bagi negara-negara untuk berkomitmen mencapai target itu pada tahun 2050.

China telah mengumumkan rencana untuk netralitas karbon pada tahun 2060. Amerika Serikat dan Uni Eropa bertujuan untuk mencapai nol bersih pada tahun 2050. Indonesia sendiri menargetkan emisi bersih pada 2060. Semua memang perlu tahapan menuju nol emisi, dan ini tidak bisa ditunda-tunda.

KTT Iklim COP26 berlangsung hingga Jumat, 12 November mendatang. Dari data, analisis, prediksi dan simulasi yang dipaparkan oleh sejumlah lembaga, terlihat jelas dampak perubahan iklim. Perubahan iklim bukanlah barang gaib namun begitu nyata.

Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) pada Selasa (2/11) mengatakan, sekitar satu miliar anak di seluruh dunia menghadapi risiko sangat tinggi dari konsekuensi perubahan iklim. Pada Agustus, UNICEF menerbitkan Indeks Risiko Iklim Anak, yang mengungkapkan bahwa, 99 persen dari 2,2 miliar anak di dunia terkena setidaknya satu ancaman lingkungan.

Ancaman lingkungan yang dimaksud termasuk gelombang panas, angin topan, banjir, kekeringan,  penyakit bawaan, polusi udara, dan keracunan timbal.



UNICEF menyebut sekitar 1 miliar anak tinggal di negara-negara yang berisiko sangat tinggi dari ancaman perubahan iklim. Anak-anak ini menghadapi ancaman kesehatan, pendidikan, dan kelangsungan hidup mereka. Ironisnya, anak-anak adalah kelompok yanng paling sedikit berkontibusi pada emisi global. Tapi kelompok ini justru terancam mengalami dampak paling parah.

Bayangkan, di masa yang akan datang, anak cucu kita terancam oleh dampak perubahan iklim. Sebagai orang tua tentu kita tidak ingin itu terjadi.

Saat ini jika kita berada di posisi orang tua pasti memikirkan bagaimana kelak anak-anak kita bisa mendapatkan pendidikan yang baik. Namun ternyata itu tidak cukup. Sebab, perubahan iklim membuat semuanya terlihat menjadi semakin suram.

Dengan ancaman perubahan iklim artinya semakin banyak yang harus kita pikirkan. Misalnya, bagaimana kita bisa mencari tempat tinggal yang lebih sehat, lebih aman, minum polusi sehingga kesejahteraan kesehatan anak-anak kita bisa lebih terjamin. Ini bukan hal yang murah. Apalagi bagi kelompok warga miskin.

Dampak dari krisis iklim ini membuat jutaan anak dan keluarga masuk dalam kemiskinan jangka panjang. Laporan dari Save The Children, di Indonesia, anak-anak akan merasakan 3,2 kali lebih banyak gagal panen dan juga masih lemahnya akses terhadap skema perlindungan sosial. Jangan sampai di masa depan anak-anak menghadapi serangan bertubi tubi mulai dari gagal panen yang berakibat pada harga pangan semakin tinggi, polusi tinggi yang mengakibatkan ancaman kesehatan.

Butuh waktu, tak bisa ditunda tapi bisa dicegah

Pengurangan emisi akan memakan waktu puluhan tahun. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mencatat bahwa sejak 2015 suhu di bumi telah meningkat. WMO menyatakan, 2021 dapat menjadi salah satu tahun terpanas.

Secara global, anak-anak yang lahir pada 2020 akan menghadapi 7 persen lebih banyak kebakaran hutan, 26 persen lebih banyak gagal panen, 31 persen lebih banyak kekeringan, 30 persen lebih banyak banjir sungai, dan 65 persen lebih banyak gelombang panas jika pemanasan global dihentikan pada 1,5°C.

Pada laporan terbaru Save the Children secara global "Born Into the climate Crisis" atau "Lahir pada Masa Krisis Iklim" menyerukan agar perlunya tindakan dan aksi yang harus dilakukan segera untuk melindungi hak-hak anak.

Penanganan perubahan iklim harus dilakukan cepat sebab mencegah perubahan iklim memang bukan pekerjaan satu malam. Tantangan terdekat saat ini adalah bagaimana pembangunan ekonomi atau menghidupkan Bumi bisa sejalan dengan tujuan dari melindungi Bumi itu sendiri.

Laporan terbaru memprediksikan bahwa emisi karbon akan kembali naik mendekati level sebelum Covid-19. Laporan ilmiah oleh Global Carbon Project memperkirakan emisi CO2 akan meningkat sebesar 4,9 persen tahun ini. Ini menunjukkan kendala untuk membatasi kenaikan suhu ke ambang kritis 1,5C.

Sebelum pandemi, atau pada tahun 2020, jumlah emsii global turun 5,4 persen. Pandemi memaksa negara-negara untuk melakukan lockdown sehingga pergerakan dan aktivitas manusia dibatasi. Dengan dunia yang kembali mulai beraktivitas, menurunkan emisi menjadi sebuah tantangan baru. Bisakah kita selalu melindungi Bumi dalam setiap upaya menghidupkan Bumi (dalam kehidupan)? Harus bisa..

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler