Pemerintah Jajaki Kerja Sama Produksi Obat Covid-19

Kemenkes menargetkan molnupiravir bisa diproduksi di Indonesia mulai tahun depan.

Republika
Perusahaan farmasi Merck bersama mitranya, Ridgeback Biotherapeutics, tengah menanti otorisasi penggunaan darurat obat antivirus eksperimental Molnupiravir di AS.
Rep: Fauziah Mursid, Febryan A, Rizky Suryarandika Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengaku saat ini pemerintah tengah melakukan penjajakan kerja sama agar industri farmasi yang memproduksi obat terapi Covid-19. Penjajakan kerja sama saat ini tengah diupayakan dengan sejumlah perusahaan farmasi besar yakni Merck, Pfizer hingga Johnson&Johnson.

Luhut mengatakan, pemerintah ingin perusahaan tersebut untuk berinvestasi farmasi dan memproduksi di Indonesia, terutama obat dan vaksin Covid-19. Sebab, obat dan vaksin Covid-19 saat ini dibutuhkan dalam jumlah yang besar di Indonesia.

"Hal ini saya sampaikan juga kepada perusahaan farmasi Merck, Pfizer dan Johnson&Johnson beberapa waktu yang lalu di New York dan mendapat respons yang baik dan sekarang pembicaraan kita sudah pada tahap-tahap yang berlanjut," ujar Luhut saat memberi sambutan secara virtual dalam Forum Nasional Kemandirian dan Ketahanan Industri Sediaan Farmasi, Senin (8/11).

Luhut mengatakan, dua perusahaan yakni Merck dan Pfizer mempunyai obat Covid-19 yang hasil penelitiannya menyebut bisa mengurangi risiko perawatan rumah sakit dan kematian karena Covid-19. Dua obat itu yakni Molnupiravir dari Merck dan Paxlovid dari Pfizer.

Karena itu, pemerintah ingin menjajaki kerja sama dengan perusahaan tersebut. "Sebagaimana kita ketahui Merck baru saja mengumumkan obat Molnupiravir yang bisa mengurangi risiko perawatan rumah sakit pada saat terkena Covid-19. Pfizer memiliki vaksin Covid-19 yang sangat efektif dan juga obat Covid-19 yang dinamakan Paxlovid yang mengurangi 89 persen risiko kematian untuk kelompok yang berisiko," ujar Luhut.

Namun, kata Luhut, kerja sama yang diinginkan pemerintah adalah industri farmasi obat tersebut ada di Indonesia. Sebab, belajar dari pengalaman pandemi Covid-19, ketergantungan dunia farmasi dengan suplai dari luar negeri atau impor menyebabkan Indonesia kesulitan saat negara-negara melakukan restriksi atau pembatasan dalam ekspor obat.

Karena itu, pemerintah mendorong kemandirian kesehatan dan obat dalam negeri. "Ini pun kita sudah sekarang dalam proses penjajakan sehingga kita mau industri itu ada dalam negeri, jangan terjadi kemarin seperti PCR kita tidak punya reagennya tidak punya juga alatnya atau sangat terbatas, sehingga kita betul-betul kesulitan waktu itu," katanya.

Ia menyebut, saat ini tim dari Kementerian Kesehatan dan Kemenkomarvest sedang melakukan pembahasan lanjut yang terkait penjajakan kerjasama farmasi dengan perusahaan tersebut. "Respons Merck dan Pfizer sangat baik merespons usulan kita, negosiasi dengan Merck sudah dilakukan dan mereka sangat terbuka untuk memberikan lisensi produksi Molnupiravir di Indonesia dan bukan hanya Molnupiravir, juga kita bicara kepada macam-macam obat lainnya yang bisa diproduksi di Indonesia dan ini semua kita jajaki," katanya.

Baca Juga


Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sendiri mengaku berencana membeli sebanyak 600 ribu hingga satu juta tablet obat terapi Covid-19 merek molnupiravir akhir Desember 2021. Menteri Kesehatan Budi Gudi Sadikin mengatakan, sudah ada kesepakatan untuk pembelian dengan jumlah itu antara pemerintah Indonesia dengan Merck.

Menkes beralasan pembelian ini sebagai antisipasi jangka pendek Indonesia menghadapi munculnya gelombang tiga Covid-19. "Mudah-mudahan tidak terjadi (gelombang ketiga), tapi kalaupun terjadi kita punya stok obatnya," ujar Budi saat rapat kerja dengan Komis IX DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (8/11).

Budi menjelaskan, obat molnupiravir ini akan diberikan kepada pasien Covid-19 bergejala ringan hingga sedang. Salah satu indikatornya adalah pasien dengan saturasi oksigen masih di atas 95. Dengan memberikan obat ini, pasien tersebut diharapkan tak perlu dirujuk ke rumah sakit. "(Sebab) hasil uji klinis di luar negeri, 50 persen pasien bisa sembuh, tidak masuk rumah sakit," ujarnya.

Untuk setiap pasien, lanjut Budi, dibutuhkan 40 tablet molnupiravir. Dia memperhitungkan harga 40 tablet itu sekitar 40-50 dolar AS. "Jadi tidak terlalu mahal, karena masih di bawah Rp 1 juta," ujarnya.

Dengan perkiraan harga 50 dolar AS atau Rp 713 ribu per 40 tablet, maka Kemenkes akan mengeluarkan dana sebesar Rp 17,82 miliar untuk membeli 1 juta tablet molnupiravir. Perhitungan ini mengacu pada kurs hari ini, Rp 14.275 per dolar AS.

Budi menambahkan, untuk jangka menengah, pihaknya akan berupaya agar obat molnupiravir ini bisa diproduksi di dalam negeri. Kini, sejumlah perusahaan BUMN dan swasta sudah mengajukan lisensi kepada Merck untuk bisa memproduksi molnupiravir di Indonesia.

"Kalau bisa cepat, mudah-mudahan tahun depan kita buat ini (molnupiravir) di sini. Sehingga bisa memperkuat ketahanan sistem kesehatan kita," ucap Budi.

Sebelumnya, epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menilai molnupirafir akan mendukung penanganan Covid-19. Dicky menyebut molnupiravir tetap bermanfaat walau sudah ada vaksin Covid-19 dengan berbagai merek. Molnupiravir diklaim berpotensi menjadi obat antivirus Covid-19 oral pertama di dunia karena efektif menangkal varian virus corona.

"Akan sangat bermanfaat (molnupiravir) ketika vaksin ini sedang gencar tapi tidak semua keburu divaksin, tidak semua bisa divaksin, mereka perlu obat. Ada varian baru yang turunkan efikasi vaksin, maka perlu obat. Disinilah peran obat ini di posisinya hilir," kata Dicky kepada Republika.co.id, Senin (4/10).

Dicky menjelaskan molnupiravir berpotensi sebagai profilaksis atau upaya pencegahan. Sehingga obat itu nantinya tak hanya berperan dalam perawatan penderita Covid-19. "Profilaksis itu begini 'Saya kemarin di kantor kontak dengan orang yang positif'. Ya udah minum obat ini'. Itu ada potensi yang begitu. Tapi kita tunggu nanti hasil akhirnya," ujar Dicky.

Bahkan, Dicky menduga molnupiravir tetap digunakan setelah pandemi Covid-19 berlalu di dunia. Tujuannya mencegah terhindar Covid-19 di wilayah tertentu yang masih berstatus endemi. "Misalkan kalau nanti sudah endemi seperti malaria, itu di daerah endemi malaria ada aturan minum pil kina untuk mencegah malaria. Jadi ini yang dijanjikan dari molnupiravir," tegasnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler