Produksi Jagung Diprediksi Turun Akibat Bumi Makin Panas

Produksi gandum diperkirakan akan naik dalam keadaan Bumi yang menghangat.

Humas Kementan.
Jagung (ilustrasi).
Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Jagung adalah salah satu tanaman yang paling penting di dunia. Namun, tanaman ini mungkin akan mengalami ancaman signifikan akibat perubahan iklim.

Baca Juga


Sebuah studi baru oleh NASA telah menemukan perubahan iklim yang berkembang melemparkan ketahanan pangan global ke dalam kekacauan.

Jagung digunakan untuk membuat berbagai jenis makanan mulai dari popcorn hingga pakan ternak. Namun, pada awal 2030, produksi jagung mungkin turun hampir seperempat. Artinya, jika pemanasan global terus berlanjut pada kecepatan saat ini produksi jagung global akan terancam.

Kesimpulan ini muncul dari penelitian terbaru oleh para ilmuwan NASA yang menggunakan pemodelan komputer untuk melihat perkiraan kenaikan suhu di seluruh dunia. Pemodelan juga mengungkap prediksi perubahan pola hujan dan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.

Model menunjukkan bahwa banyak daerah tropis yang saat ini bergantung pada produksi jagung mungkin menjadi terlalu panas bagi tanaman ini untuk berkembang.

“Kami tidak menyangka akan melihat perubahan mendasar seperti itu, dibandingkan dengan proyeksi hasil panen dari model iklim dan tanaman generasi sebelumnya yang dilakukan pada 2014,” Jonas Jägermeyr, seorang ilmuwan di Institut Studi Luar Angkasa Goddard NASA (GISS) dan The Earth Institut di Universitas Columbia, penulis utama studi ini.

Amerika Serikat (AS), China dan Brasil saat ini merupakan produsen jagung terbesar di dunia. Namun, tanaman ini juga ditanam di banyak bagian Asia tengah, Afrika Barat, dan Amerika Tengah. NASA dalam sebuah pernyataan mengungkapkan semua wilayah ini mungkin mengalami penurunan hasil dalam dekade mendatang.

“Bahkan di bawah skenario perubahan iklim yang optimistis, di mana masyarakat memberlakukan upaya ambisius untuk membatasi kenaikan suhu global, pertanian global menghadapi realitas iklim baru,” kata Jägermeyr.

 

 

Namun, itu tidak semua buruk. Studi ini juga menemukan bahwa gandum mungkin berkembang lebih baik di dunia baru yang lebih hangat. Studi tersebut menemukan bahwa produksi naik mungkin naik 17 persen pada 2030.

Para peneliti menggunakan dua jenis model untuk mensimulasikan perilaku tanaman. Pertama, mereka memodelkan bagaimana iklim Bumi akan merespons berbagai kemungkinan skenario emisi gas rumah kaca hingga tahun 2100.

Mereka berfokus pada perubahan suhu, curah hujan, tetapi juga konsentrasi karbon dioksida di tanah, yang mungkin memengaruhi fotosintesis dan pertumbuhan tanaman.

“Apa yang kami lakukan adalah mendorong simulasi tanaman yang secara efektif menumbuhkan tanaman virtual hari demi hari, didukung oleh superkomputer, dan kemudian melihat perubahan tahun demi tahun serta dekade demi dekade di setiap lokasi di dunia,” kata Alex Ruane, salah satu direktur GISS Climate Impacts Group dan salah satu penulis studi tersebut.

 

Model tersebut mensimulasikan respons tanaman dalam jangka waktu yang lama. Dengan pemodelan ini, ilmuwan bisa dengan jelas membedakan efek perubahan iklim dari variabilitas normal dalam hasil panen yang disebabkan oleh cuaca.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler