Bung Tomo, Spiritmu Hidup Melintasi Lintasan Waktu
Setiap 10 November kita dengan diingatkan peristiwa di kota pahlawan Surabaya
Selongsong senjata itu kembali menyasar, membunuh siapa saja yang ditemuinya. Teriakan dan rintihan kesakitan terjadi hampir di semua penjuru kota. Darah menetes, tulang belulang berserakan, takut dan panik menamani ribuan nyawa melayang, di ujung senjata nasib dipertaruhkan, di ujung senjata masa depan negara ditentukan, ini bukan tentang kami kini, tapi tentang kalian yang akan hidup pada masa depan.
Kalaupun tidak seindah yang diharapkan, tapi setidaknya penggalan kalimat-kalimat di atas penulis maksudkan untuk mewakili peristiwa yang pernah tecatat dalam lembaran perjuangan kemerdekaan, 10 November 2021 kita diingatkan dengan peristiwa yang terjadi di Kota Pahlawan Surabaya. Pertempuran dilatarbelakangi kedatangan Inggris dan Belanda untuk melucuti tentara Jepang serta ingin mengembalikan masa penjajahan Belanda. Masayarakat Indonesia khususnya arek-arek Suroboyo tidak terima dengan tujuan itu. Mereka menganggap bahwasanya Inggris dan Belanda tidak menghargai kemerdekaan Indonesia.
Ketegangan demi ketegangan terus terjadi. Perundingan yang dilakukan tidak mendapatkan titik temu. Para pemuda merobek warna biru bendera Belanda sampai yang tersisa warna merah putih. Situasi semakin memanas setelah Jenderal Mallaby terbunuh di dalam mobil. Pertempuran berlangsung selama tiga minggu dengan menelan korban jiwa sekirar 6.000-16.000 orang pejuang dan Inggris Belanda 600-2.000 orang (wikipedia.org).
Bung Tomo yang menjadi aktor pergerakan membakar semangat para pemuda untuk bergerak melakukan perlawanan, lewat siaran radio, Bung Tomo berpidato :
.
Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka.
Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!
Dan kita yakin saudara-saudara.
Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita,
Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar.
Percayalah saudara-saudara.
Tuhan akan melindungi kita sekalian.
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
(Pidato Bung Tomo)
Dari pidato yang disampaikan, memberikan pesan kepada generasi dulu, kini dan nanti. Kepada generasi dulu, ketertundukan kepada kaum kolonial merupakan sesuatu yang harus dilawan, harga diri sebuah negara merdeka menjadi harga mati. Kegigihan dalam memperjuangkan nasib bangsa diperlihatkan dengan pengorbanan yang besar, mempertaruhkan jiwa dan raga, menggadaikan kenyamanan. Keyakinan yang kuat bahwa kemerdekaan adalah jalan yang benar dan akan mendapat restu dari alam semesta. Penggalan kalimat terakhir memperlihatkan spritualitas, di mana perjuangan tidak lepas dari nilai-nilai agama. Totalitas dalam perjuangan dilandasi oleh spritualitas bahwa apa yang mereka lakukan mendapatkan pahala dan jaminan surga.
Kepada generasi sekarang dan yang akan datang, pidato Bung Tomo sebagai genderang pengingat bahwa kenyamanan hari ini sebagai hasil karya dari keringat dan air mata generasi pendahulu. Spirit Bung Tomo yang memiliki semangat tinggi untuk memperjuangkan nasib negara, mengingatkan kepada generasi milenial untuk mengisi kemerdekaan dengan karya terbaik dengan profesi dan status yang kita miliki hari ini.
Kita tidak lagi mengangkat senjata untuk lepas dari penjajahan, tidak ada suara-suara mesin penghancur nyawa, tidak ada tetesan darah, tidak ada lagi kematian dan kuburan masal. Di tengah pandemik, mari kita berperang melawan Covid-19, melawan dampak negatif dari globalisasi dan melawan ego keserakahan. Tangan tidak perlu lagi berlumur darah, perang hari ini tentang ide dan karya untuk dikenang di masa depan. Nasionalisme harus tetap terjaga, nilai-nilai perjungan harus tetap ada, mari membangun negara atas dasar cinta.