Harga Fluktuatif Jadi Kendala Pembangunan Industri Tepung

Peluang membangun industri telur di Indonesia sangat besar karena surplus produksi.

Antara/Adeng Bustami
Pekerja memberi pakan pada ayam petelur di Kawalu, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Senin (4/10/2021). Pemerintah berusaha menjaga stabilitas harga telur ayam untuk membantu penyerapan telur dengan menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) di sentra produksi peternak yang akan didistribusikan dari wilayah para produsen ke konsumen, khususnya wilayah yang memiliki permintaan telur cukup tinggi.
Rep: Dedy Darmawan Nasution Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga telur lokal yang fluktuatif dan lebih tinggi dari berbagai negara, menjadi kendala utama dalam pengembangan industri tepung telur di Indonesia. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkapkan, faktor harga tersebut sangat berpengaruh dalam menarik minat investor untuk mendirikan pabrik.

Baca Juga


Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan, Supriadi, mengatakan, peluang membangun industri telur di Indonesia sangat besar karena surplus produksi telur yang sudah dicapai. Tahun ini, ia memprediksi akan terdapat surplis produksi telur hingga 200 ribu ton. 

Proyeksi itu diperoleh dari perkiraan produksi yang mencapai 5,15 juta ton sedangkan kebutuhan hanya 4,95 juta ton. Tingginya surplus itu turut berdampak pada anjloknya harga telur yang merugikan peternak.

"Kami berharap adanya surplus telur ini bisa diolah menjadi produk-produk olahan yang masih diimpor. Karena tujuan dari olahan bisa memperpanjang masa simpan produk," kata Supriadi dalam webinar, Rabu (10/11).

Namun, keinginan mendirikan industri itu terkendala akibat harga yang tidak stabil bahkan cenderung lebih tinggi. Harga telur di India, misalnya, yang menjadi produsen telur memiliki tingkat harga telur ayam ras segar yang hanya Rp 12.300 per kg-Rp 12.400 per kg.

Sementara, di Indonesia, sesuai acuan pemerintah harga telur di tingkat peternak Rp 19 ribu-Rp 21 ribu per kg.

"Industri pengolahan sangat minim karena memang masalah harga. Walau harga saat ini sedang jatuh di bawah acuan, tapi dengan harga India tetap masih jauh. Itu membuat investor berpikir," ujarnya.

Selain masalah harga, masih ada tantangan yang datang dari tingkat konsumsi dalam negeri. Supriadi menyampaikan, volume impor tepung telur pada 2020 lalu mencapai 2.148 ton. Angka itu terus mengalami peningkatan dari tahun 2016 yang masih 1.638 ton.

Kendati volume mengalami peningkatan, jumlah impor tepung telur tahun lalu hanya setara dengan 10 ribu ton telur. Sementara, angka potensi surplus tahun ini tembus hingga 200 ribu ton.

"Kalau kita membangun industri pengolahan telur dan harus menyerap semua (surplus) telur, itu tidak cukup. Harus ada pasar ekspor," kata Supriadi.

Menurutnya jika Indonesia dapat kompetitif dalam harga telur, pembangunan industri pengolahan bisa dicapai dengan menargetkan pasar lokal dan ekspor. Ia menyampaikan pasar tepung telur dunia tahun ini diperkirakan mencapai 26,6 miliar dolar AS dan akan naik sekitar 6,3 persen hingga 2026 menjadi 36,36 miliar dolar AS.

Adapun produk olahan telur di pasar dunia terdiri dari tepung putih dan kuning telur, telur cair, serta telur beku. Namun, Supriadi menekankan orientasi kepada ekspor harus disertai dengan adanya sertifikasi telur.

Hal itu sejalan dengan regulasi pangan global yang semakin ketat. "Seperti Eropa yang kini menerapkan syarat produk pangan dari telur harus disertifikasi," katanya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler