Azis: Dalih Polisi Tembak Mati Laskar FPI tak Masuk Akal
Pengacara eks anggota FPI nilai alasan polisi tembak mati korban tak masuk akal
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa Hukum enam keluarga eks anggota FPI, Aziz Yanuar, menilai keterangan saksi dalam sidang perkara unlawful killing di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa (9/11) lalu tidak masuk akal. Sebab, saksi menyatakan bahwa aksi menembak mati enam anggota FPI di Tol Jakarta-Cikampek KM 50 merupakan buntut dari situasi dan kondisi yang tidak normal serta spontan.
"Enggak masuk akal orang waras. Justru ketidaknormalan itu yang menciptakan kan pihak mereka sendiri," kata Aziz mengomentari pernyataan yang disampaikan oleh Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Metro Jaya, Komisaris Besar (Kombes) Tubagus Ade Hidayat saat menjadi saksi di PN Jaksel.
Aziz mengatakan, tindakan anggota polisi yang membuntuti rombongan FPI saat kejadian tersebut tidak bisa diterima logikanya. Karena, jelas dia, hal itu bukanlah tindakan yang spontan.
"Memempet mobil Habib Hanif dan mengeluarkan provokasi jari tengah apa itu spontan? Spontannya aparat yang bisa diterima akal sehat ya menunjukkan diri bahwa mereka aparat, seperti berteriak 'saya polisi'," ujarnya saat dihubungi, Rabu (10/11).
"Tunjukkan logo kewenangan dan identitas. Bukan asal pepet dan brondong dengan senjata api," katanya menambahkan.
Padahal, sambung Aziz, polisi mengklaim bakal memperlakukan para pelaku kejahatan secara humanis dan memberikan peringatan sebelum bertindak tegas. Namun, ia menyebut, hal ini justru tidak diterapkan saat menangani para anggota Laskar FPI.
Dia menuturkan, anggota Laskar FPI yang mendokumentasikan kejadian tersebut justru mendapat intimidasi dari polisi dan diminta menghapus video serta foto. "Tidak ada garis polisi di TKP layaknya ada peristiwa pidana. Dari jam 1 dini hari sampai siang jam 12 malam, dikemanakan para syuhada itu? Itu spontan juga?" tanya Aziz.
Aziz mengatakan, pernyataan Tubagus dalam persidangan kemarin justru menunjukkan adanya dugaan unsur kesengajaan pada peristiwa tembak mati enam anggota FPI tersebut. "Kami duga seperti itu," ucapnya.
Sebelumnya, Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Metro Jaya, Komisaris Besar (Kombes) Tubagus Ade Hidayat mengakui, penembakan terhadap Laskar FPI tersebut, memang tak sesuai standard operational procedure (SOP).
Namun ia berdalih, dalam situasi yang tak normal, sulit menerapkan panduan penggunaan senjata api, untuk pelumpuhan terhadap seseorang yang diduga melakukan perlawanan ketika dalam penguasaan anggota kepolisian.
"SOP itu, mengatur hanya ketika dalam kondisi yang normal posisi," ujar Tubagus ketika menjawab pertanyaan jaksa perihal SOP penggunaan senjata api oleh kepolisian.
Tubagus menerangkan, SOP penggunaan senjata api oleh petugas, hanya dibenarkan jika situasi dan kondisi membahayakan jiwa petugas, maupun masyarakat di sekitar. Penggunaan senjata api tersebut itu pun cukup menyasar pada bagian yang melumpuhkan.
"Kalau dalam kondisi normal, itu ditujukan hanya untuk melumpuhkan," kata Tubagus.
Akan tetapi, Tubagus mengungkapkan, dari laporan yang ia terima setelah kejadian pembunuhan pada 7 Desember 2020 dini hari itu, para terdakwa mengaku melakukan penembakan mematikan ke para anggota FPI, karena dalam kondisi yang tak normal.
Menurut Tubagus, dari laporan langsung para terdakwa kepadanya, juga mengatakan, situasi yang terjepit, dan kondisi yang sempit di dalam mobil setelah penangkapan anggota laskar FPI, yang membuat para anggotanya meluapkan peluru tajam yang menyasar bagian mematikan, pada bagian badan para korban.
"Kondisi yang dilaporkan kepada saya oleh anggota (terdakwa), itu kondisinya spontan. Kejadian (pembunuhan) itu secara spontan dalam ruangan yang sempit di dalam mobil," ujar Tubagus.
Kondisi terjepit, dan situasi spontan tersebut, kata Tubagus, membuat para terdakwa tak dapat melihat sasaran tembak pada bagian tubuh yang cukup hanya dengan pelumpuhan.
"Yang terlihat kalau di dalam mobil gambaran dalam diri saya, gambaran pribadi saya, otomatis bagian kaki ke bawah tertutup, tentu yang terlihat adalah bagian atas (badan), dan mohon jangan dibayangkan dalam posisi (di mobil) yang ideal, tolong dibedakan posisi yang ideal dengan posisi spontan. SOP itu mengatur hanya dalam kondisi yang normal posisi," ujarnya.
Dalam kasus pembunuhan enam anggota Laksar FPI tersebut, JPU hanya mendakwa dua terdakwa. Yakni Briptu Fikri, dan Ipda Ohorella. Sedangkan Ipda Elwira, dinyatakan tewas dalam kecelakan meskipun statusnya sebagai tersangka. Dalam dakwaan, ketiga anggota Resmob Polda Metro Jaya itu, dituduh membunuh enam anggota Laskar FPI di KM 50 Tol Japek, pada Senin (7/11) 2020. Dari hasil visum terhadap enam jenazah yang dituangkan dalam dakwaan, sedikitnya ada 19 peluru tajam yang bersarang di tubuh korban, dengan masing-masing minimal dua sampai empat tembakan.
Atas tuduhan tersebut, JPU mendakwa Briptu Fikri, dan Ipda Ohorella dengan sangkaan pembunuhan berlapis. Yakni dengan Pasal 338 dan Pasal 351 ayat (3) KUH Pidana, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Sangkaan tersebut, terkait dengan ancaman penjara 7 sampai 15 tahun, terkait pembunuhan, dan penganiyaan yang menyebabkan orang lain kehilangan nyawa.