COP26 akan Berakhir, Mungkinkah Kesepakatan Iklim Terjadi?

KTT iklim memasuki hari terakhir, Jumat (12/11).

ANTARA/Sigid Kurniawan
Salah satu kartu pos dipajang dalam aksi Greenpeace Indonesia di kawasan Monumen Nasional, Jakarta, Rabu (10/11/2021). Aksi mengantarkan 1.000 kartu pos dari masyarakat seluruh Indonesia kepada Presiden Joko Widodo yang disertai patung es seorang anak tersebut untuk mengingatkan adanya ancaman besar perubahan iklim.
Rep: Idealisa masyrafina Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, GLASGOW -- KTT iklim COP26 di Glasgow memasuki hari terakhirnya. Kesepakatan untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius tidak mungkin tercapai.

Baca Juga


Sekretaris Jenderal PBB António Guterres dengan blak-blakan mengatakan bahwa tujuannya adalah pada penopang kehidupan. Dia mengatakan KTT mungkin tidak akan melihat pemerintah membuat janji yang diperlukan untuk mengurangi emisi CO2 dengan cukup.

Sebelumnya, Presiden COP26 Alok Sharma memperingatkan bahwa waktu hampir habis untuk menutup kesepakatan sebelum KTT berakhir.

Para ilmuwan mengatakan membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 C akan membantu umat manusia menghindari dampak iklim terburuk. Di Paris pada tahun 2015, para pemimpin dunia berjanji untuk mencoba menjaga dunia dari pemanasan lebih dari antara 1,5C hingga 2C melalui pengurangan emisi gas rumah kaca. Proyeksi terbaru adalah suhu Bumi akan naik 2,7C.

Guterres memperingatkan bahwa janji untuk mengurangi emisi tidak ada artinya sementara pemerintah terus berinvestasi dalam bahan bakar fosil. "Janji-janji menjadi hampa ketika industri bahan bakar fosil masih mendapat subsidi triliunan," katanya dilansir di BBC, Jumat (12/11).

Dia menyebut pengumuman yang dibuat sejauh ini di Glasgow jauh dari cukup. "Kami tahu apa yang harus dilakukan. Namun, harapan tetap sampai saat terakhir," ucap dia.

Sementara itu, Sharma meminta para negosiator untuk menemukan solusi atas masalah-masalah sulit sebelum penutupan resmi KTT yang dijadwalkan pada pukul 18:00 GMT.

 

Sharma juga mengatakan lebih banyak pekerjaan diperlukan pada Pasal 6, yaitu tentang pasar karbon dan bagaimana negara-negara menyeimbangkan penggunaan bahan bakar fosil mereka.

Mary Robinson, mantan presiden Irlandia dan kepala sekelompok pemimpin politik senior tentang iklim, menuduh beberapa penghasil karbon utama dunia menyabot segala upaya untuk mengamankan rencana aksi yang lebih ambisius di COP26.

Dia mengatakan bahwa Rusia dan Arab Saudi mendorong kembali untuk memblokir penyebutan apa pun dalam kesepakatan akhir dari Glasgow tentang bekerja untuk menghapus batubara, atau untuk mengurangi subsidi pemerintah untuk bahan bakar fosil.

COP26 adalah konferensi perubahan iklim terbesar sejak pembicaraan penting di Paris. Sekitar 200 negara dimintai rencana mereka untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, yang menyebabkan pemanasan global, pada tahun 2030.

Pada hari Kamis (11/11), sekelompok kecil negara mengumumkan aliansi untuk menghentikan produksi minyak dan gas. Dipimpin oleh Denmark dan Kosta Rika, Beyond Oil and Gas Alliance juga mencakup Prancis, Wales, dan Irlandia, tetapi bukan Inggris.

Aktivis dan politisi dengan hati-hati menyambut deklarasi mengejutkan Kamis dari AS dan China untuk mencoba menjaga pemanasan terbatas pada 1,5C. Namun, para pegiat mengatakan kedua negara perlu mengambil tindakan nyata

 

Sementara itu, perwakilan dari Ghana, Ethiopia, Bangladesh dan Tuvalu mengadakan konferensi pers yang mengklaim bahwa AS menghalangi kemajuan di COP26. Mereka mengatakan AS mengabaikan kekhawatiran negara-negara termiskin dan paling rentan atas pendanaan iklim.

Sebelumnya, juru kampanye yang dipimpin oleh Global Witness menilai kesepakatan iklim akan sulit terjadi. Sebab, dari daftar peserta KTT perubahan iklim di Glasgow ada setidaknya 503 orang yang terkait dengan kepentingan bahan bakar fosil menjadi peserta dalam KTT iklim.

Delegasi ini dikatakan melobi industri minyak dan gas. "Industri bahan bakar fosil telah menghabiskan waktu puluhan tahun untuk menyangkal dan menunda tindakan nyata terhadap krisis iklim, itulah sebabnya ini menjadi masalah besar," kata Murray Worthy dari Global Witness, dilansir di BBC, Senin (8/11).

Murai mengatakan pengaruh dari delegasi-delegasi ini merupakan salah satu alasan terbesar mengapa 25 tahun pembicaraan iklim PBB tidak menghasilkan pengurangan nyata dalam emisi global.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler