Semesta Rasa Tujuh Rupa

Retizen memberikan ruang luas untuk konten sastra seperti puisi dan cerpen

Sastra dan Cerpen
Rep: Jumadi Red: Retizen

Bu Minul mulai agak panik. Dari satu pedagang ke pedagang yang lain, ia tidak dapat memperoleh bahan sayuran yang ia inginkan. Sudah habis tidak bersisa lagi. Kalaupun ada sudah pesanan orang. Pasar itu sendiri sudah lengang. Hanya ada satu dua jual beli. Adapun Bu Minul, sebenarnya jarang sekali ia pergi ke pasar kalau tidak terpaksa. Biasanya ia hanya membeli bahan sayuran di warung tetangga. Karena di warung tetangga langganannya juga sudah tidak tersedia bahan sayur yang ia inginkan, ia pun pergi ke pasar ini.


Bu Minul juga insyaf ini semua juga karena salahnya. Kenapa ia bangun kesiangan di saat situasi mendesak seperti ini. Dengan perasaan kecewa, ia memutuskan pulang. Satu kebetulan di tengah perjalanan pulang ia berpapasan dengan seorang pedagang sayur keliling. Tanpa ragu ia pun mencegatnya.

“Mbak, setop. Setop, Mbak!” seru Bu Minul. Pedagang sayur pun meminggirkan motor. Bu Minul mendekat.

“Mbak, masih ada bahan sayur lodeh?” tanya Bu Minul tampak tak sabar.

“Ada, Bu. Tapi ” kata si pedagang agak ragu.

“Tapi kenapa? Sini saya belinya,” sergah Bu Minul.

“Masih ada dua. Tapi mau saya masak sendiri, Bu. Maaf,”

“Saya beli satu. Ini uangnya,” desak Bu Minul sambil menyerahkan uang lima puluh ribu tanpa ragu. Si pedagang tak kuasa menolak desakan Bu Minul. Lagi pula bahan sayur seharga tujuh ribu dibeli dengan harga lima puluh ribu adalah penawaran yang menggiurkan.

Berhasil membeli bahan sayur lodeh, Bu Minul pun pulang. Ada perasaan lega di hatinya. Syarat tolak bala berupa sayuran tujuh rupa itu sudah ia dapatkan. Sebagaimana sebagian besar orang demikian terpengaruh oleh desas-desus dari mulut ke mulut yang tidak jelas asal muasalnya itu, Bu Minul pun tak kuasa menolak bahwa memasak sayur lodeh adalah sesuatu yang tak boleh dibantah dari mana pun asalnya titah tersebut jika ia dan keluarganya ingin selamat dari serangan wabah mematikan yang tengah melanda.

*

Pak Hidayat atau lebih sering dipanggil Pak Dayat baru saja mematikan laptopnya dan duduk menyandar ke kursi sambil menghela nafas. Saat wabah seperti ini, ia dan guru-guru lainnya diharuskan mengajar dari rumah. Ia biasa menyampaikan materi pelajaran ke murid-muridnya secara daring mulai pukul 8 sampai jam 11. Menurut Pak Dayat, mengajar secara daring itu lebih ribet dan capek daripada mengajar langsung di kelas. Benar-benar kurang ajar orang yang mengatakan bahwa mengajar secara daring itu lebih efektif dan efisien. Mana buktinya? Habis subuh ia harus menyiapkan materi pelajaran. Pagi jam 8 ia sudah harus mengunggah materi tersebut ke kelas maya dan kemudian dengan telaten ia harus meladeni bermacam-macam pertanyaan dari siswa terkait materi yang ia sampaikan sampai pukul 11. Malamnya habis isya, ia harus mengoreksi materi latihan soal yang dikerjakan siswa. Huh, benar-benar rutinitas yang menjemukan. Pikiran seperti itu begitu merusuhi pikiran dan persaaan Pak Dayat hingga tiba-tiba muncul suara istrinya dari arah dapur.

“Pak, mau makan siang pakai apa?”

“Apa yang ada aja, Bu. Nggak usah repot-repot keluar cari makanan. Lagi wabah begini.”

“Adanya cuma telur, Pak.”

“Nggak apa-apa, Bu. Telur dadar sama nasi hangat boleh juga.”

Pak Dayat dan istrinya sudah bersepakat. Selama wabah ia harus menghemat anggaran rumah tangga. Pengeluaran-pengeluaran yang tidak begitu penting dan esensial dihilangkan karena tidak tahu wabah ini sampai kapan. Menu makanan pun tidak perlu selalu mewah. Yang penting cukup sehat dan mengandung gizi.

“Assalamu’alaikum.” Tiba-tiba terdengar seseorang di depan pintu beruluk salam.

“Bu, ada tamu tuh di depan. Sepertinya Bu Minul,” kata Pak Dayat kepada istrinya.

Cepat-cepat Bu Dayat keluar rumah menyambut kedatangan tamunya.

“Wa’alaikumsalaam. Eh, Bu Minul,” sapa Bu Dayat dengan ramah.

“Bu, ini ada sedikit sayur lodeh buat Bu Dayat dan Pak Dayat,” kata Bu Minul sambil menyerahakan semangkok sayur lodeh.

“Wah, pas sekali ini. Kebetulan waktunya makan siang,” sambut Bu Dayat dengan sumringah. “Terima kasih ya, Bu.”

Setelah Bu Bu Minul minta pamit, Bu Dayat kembali masuk rumah.

“Pak, ini ada sayur lodeh dari Bu Minul. Saya siapkan makan siang sekalian ya, Pak.”

“Alhamdulillah, Bu. Sayur lodeh sama telur dadar pasti nikmat ya, Bu.”

Terlintas dalam pikiran Pak Dayat bahwa sayur lodeh buatan Bu Bu Minul itu pasti bersangkut paut dengan desas-desus syarat tolak bala yang diributkan orang-orang. Pak Dayat sendiri tak mau ambil pusing dengan desas-desus sayur lodeh sebagai syarat tolak bala tersebut. Tahayul pikir Pak Dayat yakin. Apa hubungan sayur lodeh dengan wabah? Waktu istrinya terpengaruh ingin ikut orang-orang membuat sayur lodeh, ia dengan sabar menjelaskan bahwa itu tahayul. Tahayul adalah salah satu cabang dari kemusyrikan. Ia mengajak istrinya berpikir rasional dan menjaga keimanan dengan baik-baik. Menyikapi wabah dengan perbuatan tahayul bak sudah jatuh tertimpa tangga pula. Kita belum tentu selamat dari wabah, keimanan kita sudah terlanjur rusak.

Waktu menyediakan makan siang telur dadar dengan sayur lodeh, istrinya pun rusuh pikirannya.. Bukankah suaminya kemarin melarang ia memasak sayur lodeh dengan alasan itu tahayul. Kenapa sekarang suaminya tampak begitu berselera makan sayur lodeh?

“Silakan makan, Pak. Makan siang sudah siap,” panggil Bu Dayat sambil mengusir pikirannya yang rusuh.

Pak Dayat pun menuju ke meja makan. Setelah ambil sepiring nasi, ia taruh potongan telur dadar di atas nasi. Kemudian, ia tuangkan sayur lodeh di atasnya.

“Wah, nikmat sekali, Bu. Siang-siang makan sayur lodeh pakai telur dadar. Rasanya sudah lama banget tidak makan begini.”

“Eh, Pak. Bukannya kemarin bapak bilang kalau sayur lodeh itu tahayul. Kok, bapak malah senang dapat makan siang pakai sayur lodeh?”

“Oalah, Bu. Kalau makan sayur lodeh saja kan nggak apa-apa. Yang nggak boleh itu mengaitkan sayur lodeh sebagai tolak bala wabah. Itu yang tahayul.”

Pak Dayat pun menyendok sesuap nasi bercampur sayur lodeh. Ia masukkannya ke mulut. Baru sampai di lidah, ia merasa tercenung dan berhenti mengunyah suapan di mulutnya. Tatapannya kosong seolah menerawang sesuatu yang jauh. Angannya menggapai-gapai bayangan abstrak entah di mana tempatnya dan bagaimana bentuknya. Istrinya yang sedari tadi memperhatikannya jadi keheranan. Apakah suaminya akhirnya mengakui juga bahwa sayur lodeh itu tak boleh dimakan? Apakah suaminya takut imannya rusak gara-gara makan sayur lodeh itu? Selaksa tanya menggelayuti pikiran Bu Dayat. Tak sabar ia ingin segera tahu kenapa.

“Ada apa, Pak?” tanya Bu Dayat penasaran.

Suaminya pun tergeragap seolah-olah tersadar dari lamunannya demi mendengar suara istrinya. Ia pun menoleh ke istrinya pelan.

“Tidak apa-apa, Bu,” katanya lirih sambil tersenyum.

“Tapi kenapa Bapak sikapnya aneh begitu?”

“Sayur lodeh ini rasanya mirip lodeh buatan Simbok. Duh, saya kok jadi kangen Simbok begini ya. Sayang tahun ini tidak bisa mudik dan sungkem ke Simbok di kampung.”

“Sabar, Pak. Tahun depan insyaallah kalau wabahnya sudah bisa diatasi kita bisa mudik.”

“Amin, Bu. Amin.”

Sleman, Juni 2020

sumber : https://retizen.id/posts/14548/semesta-rasa-tujuh-rupa
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler