'Penentuan Jadwal Pemilu Mutlak di Tangan KPU'

KPU, pemerintah, dan partai politik belum ada kesepakatan soal jadwal Pemilu 2024.

ROL/Fian Firatmaja
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Junimart Girsang
Rep: Nawir Arsyad Akbar, Mimi Kartika Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi II DPR Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Junimart Girsang menegaskan, penentuan jadwal pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) 2024 berada ditangan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22E, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 167, dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 92 Tahun 2016.

"Otoritas penentuan jadwal Pemilu mutlak berada ditangan KPU. Pasal 167 UU Pemilu secara tegas menyebutkan bahwa penentuan hari, tanggal dan waktu pemungutan suara ditentukan oleh KPU dengan keputusan KPU," ujar Junimart kepada wartawan, Kamis (18/11).

Jadwal yang diputuskan oleh KPU tersebut akan dibawa dan dikonsultasikan di Komisi II DPR RI bersama Kementerian Dalam Negeri, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Dalam bentuk rapat kerja untuk diambil keputusan.

"Artinya jadwal Pemilu yang sudah ditentukan oleh KPU sifatnya hanya sebatas konsultasi saja di DPR RI yang selanjutnya ditindaklanjuti KPU," ujar Junimart.

Ia menjelaskan, konsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam membuat peraturan KPU (PKPU) tidak mengikat. Artinya, apa yang diusulkan Komisi II DPR atau pemerintah sifatnya hanya sebatas usulan.

"Komisi II DPR RI wajib fokus mengkritisi dasar penentuan jadwal hingga tahapan hasil akhir Pemilu sesuai dengan tujuan dari Pemilu itu sendiri. KPU dan penyelenggara Pemilu harus independen, tidak bisa diintervensi," ujar Junimart.

Adapun waktu tahapan Pemilu 2024, nanti dapat saja dipersingkat tanpa mengurangi proses dan nilai Pemilu itu sendiri. Menurutnya, hal itu mengingat situasi dan kondisi pandemi saat ini.

"Tentang waktu tahapan bisa saja dipersingkat mengingat situasi pandemi saat ini tanpa membuat irisan dalam proses tahapan dan nilai, roh dari Pemilu itu tetap hidup," ujar Junimart.

Baca Juga


Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid Thantowi mengakui masih belum ada kesepakatan soal jadwal pemilu antara KPU dengan pemerintah. Hal tersebut karena terdapat perbedaan cara pandang mengenai tahapan Pemilu 2024 antara KPU, pemerintah, dan partai politik.

"Jadi karena cara pandangnya berbeda, maka usulannya (tanggal pemungutan suara Pemilu 2024) menjadi berbeda," ujar Pramono.

Dia menuturkan, pemerintah menggunakan cara pandang tata kelola pemerintahan dalam mengusulkan tanggal pencoblosan pemilu pada Mei 2024. Pemerintah menginginkan jarak antara pemilihan presiden (pilpres) dan jadwal pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih tidak terlalu lama.

Pemerintah beralasan, jarak waktu yang terlalu jauh akan menimbulkan turbulensi politik. Sebab, pemerintah harus menjaga stabilitas politik dan keamanan. "Apalagi yang terpilihnya adalah pasangan calon presiden dan calon wakil presiden bukan dari koalisi yang pejawat, maka dikhawatirkan menimbulkan turbulensi politik," kata Pramono.

Dia mencontohkan, turbulensi politik terjadi pada saat pergantian kekuasaan dari Presiden Megawati Soekarnoputri ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maupun transisi dari Presiden SBY ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Meski tingkatnya berbeda, tetapi turbulensi politik tetap berpotensi terjadi ketika jarak waktu antara penetapan pasangan calon terpilih dan pelantikan terlalu lama.

Sementara, pemerintah berpendapat usulan KPU atas pemungutan suara yang dilaksanakan Februari 2024 akan berdampak pada kebutuhan anggaran pemilu yang melonjak. Sedangkan, pemerintah juga ingin fokus melakukan penanganan pandemi Covid-19 beserta pemulihan dampak ekonominya.

Di sisi lain, partai politik (parpol) juga berbeda pandangan atas persoalan jadwal Pemilu 2024. Pramono mengatakan, beberapa partai politik mendukung usulan pemerintah agar pemilu digelar Mei 2024,  sebagian lainnya ada juga yang tidak setuju dengan pemerintah.

Menurut dia, parpol yang tidak setuju usulan pemerintah memang menggunakan cara pandang politik. Hal ini berkaitan dengan masa kampanye yang diperkirakan akan berlangsung pada bulan Ramadhan, sekitar 10 Maret-10 April 2024.

Partai politik itu beralasan kampanye pada masa ibadah puasa akan mengundang maraknya isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Selain itu, beberapa partai politik juga menghitung ada risiko membengkaknya ongkos politik ketika kampanye dilaksanakan pada Ramadhan.

Sementara itu, Pramono mengeklaim, KPU sepenuhnya mempertimbangkan aspek elektoral dalam menyusun tahapan Pemilu maupun Pilkada serentak 2024. KPU mengaku tidak terpaku pada tanggal, melainkan mempertimbangkan kecukupan alokasi waktu setiap tahapan pemilihan.

Dia menyebutkan, KPU mempertimbangkan sistem pemilu di Tanah Air. KPU harus menyusun simulasi dengan mengalokasikan waktu untuk proses rekapitulasi hasil penghitungan suara sampai sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi (MK). Di samping itu, KPU juga harus memberikan waktu untuk mengantisipasi terjadinya pilpres putaran kedua. Sebab, tidak ada pihak yang bisa memprediksi jumlah pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang ikut berlaga dalam Pemilu 2024 nanti.

Kemudian, KPU juga harus mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan dalam setiap melaksanalan tahapan pemilu maupun pilkada. Bahkan, beberapa tahapan pemilihan ditentukan batasan waktunya secara eksplisit oleh Undang-Undang. "Yang kedua, cara pandang KPU berbasiskan regulasi. Undang-Undang Pemilu itu menyebut secara eksplisit beberapa pasalnya itu menyebut batasan-batasan waktu," tutur Pramono.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
 
Berita Terpopuler