Pahitnya Mengubur Mimpi Pindah ke Eropa
Para migran Timur Tengah yang ingin mencari harapan ke Eropa harus rela dipulangkan
REPUBLIKA.CO.ID, MINSK - Azad masih menahan nyeri akibat luka memar di beberapa bagian tubuhnya. Tatapannya kosong saat pesawat yang ditumpanginya hendak mendarat di bandara Erbil, Irak. Ia menggenggam kuat tangan istrinya.
Azad dan istrinya termasuk dalam kelompok migran yang gagal memasuki Eropa dari Belarusia. Mereka, bersama 430 warga Irak lainnya, akhirnya direpatriasi dengan menumpang pesawat dari bandara Minsk pada Kamis (18/11) pekan lalu.
Azad dan istrinya sebenarnya masih berharap bisa memasuki Eropa. Namun situasi yang mereka hadapi di perbatasan Belarusia-Polandia, bukan hanya sulit, tapi juga mengancam jiwa.
Pasukan Belarusia menggencet para migran agar terus mendekat ke area perbatasan Polandia. Sementara di sisi lain, polisi Polandia menghantam mereka untuk kembali. Tak jarang para migran ditodong menggunakan senjata.
Azad merasa dia dan para migran lainnya diperlakukan seperti binatang. "Saat itulah kami berpikir sudah waktunya untuk melepaskan mimpi pindah ke Eropa," ujarnya saat diwawancara Aljazirah.
Kembali ke Irak bukanlah keputusan yang mudah dibuat. Sama seperti banyak migran lainnya yang hendak menyeberang ke Eropa, Azad menabung dan meminta dukungan keuangan dari keluarganya. Ia bahkan hampir menjual rumahnya.
Saat mendengar Pemerintah Irak menawarkan penerbangan repatriasi dari Minsk bagi mereka yang ingin kembali secara sukarela, reaksi pertama Azad adalah "tidak". Reaksi demikian turut muncul dari banyak migran lainnya. Oleh sebab itu, meski situasi yang dihadapi mencekam masih ada migran yang memilih bertahan di perbatasan Belarusia-Polandia.
Namun Azad dan istrinya akhirnya memilih ikut penerbangan repatriasi ke Irak. "Saya ingat saya memberi tahu istri saya di tenda kami pada malam hari bahwa kami tidak menghabiskan semua uang serta membuat energi ini, sehingga kami akan kembali ke Irak," ucapnya.
Saat ini Pemerintah Belarusia tengah merelokasi migran dan pencari suaka di wilayah perbatasannya ke tempat penampungan sementara. Namun belum jelas bagaimana mereka hendak menyelesaikan krisis migran di sana. Politisi Barat menuding Presiden Belarusia Alexander Lukashenko menggunakan migran dan pencari suaka sebagai "senjata" untuk membalas dendam terhadap sanksi Uni Eropa.